7.6 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Makin Nyata, Ancaman Menyeramkan Bagi Dunia Selain Covid di Depan Mata

Washington, MISTAR.ID

Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya emisi karbon sehingga meningkatkan tingkat suhu bumi. Tentunya, ini akan berdampak buruk bagi bumi dan manusia. Ternyata pandemi Covid-19 bukan satu-satunya ancaman di muka bumi. Kenyataannya, ada ancaman lain yang sama bahayanya yakni perubahan iklim (climate change).

Penelitian terbaru dari Amerika Serikat (AS) menyebutkan jika tidak ada perubahan, maka 95% permukaan laut bumi menjadi tak layak huni pada 2100. Penelitian tentang perubahan iklim ini telah dilakukan sejak abad ke-18.

Mereka pun memprediksi bagaimana emisi karbon mempengaruhi dunia pada 2021. Salah satunya ke kehidupan biota laut. Mengutip Nature World News, sebagian besar kehidupan laut didukung oleh permukaan laut yang dicirikan oleh suhu air permukaan, keasaman, dan konsentrasi mineral arogonit yang dibutuhkan mahkluk laut guna membuat tulang atau cangkang.

Baca Juga:Perubahan Iklim Ancaman Lebih Berbahaya dari Covid-19

Namun dengan meningkatnya tingkat CO2 (karbon dioksida) di atmosfer, setidaknya dalam tiga juta tahun, ada kekhawatiran suhu permukaan laut mungkin menjadi kurang bersahabat dengan spesies yang hidup di sana.

Laut yang lebih panas, lebih asam, dan memiliki lebih sedikit mineral yang dibutuhkan bagi kehidupan di sana untuk berkembang menjadikan laut tidak layanan huni bagi mahkluk laut. Menurut penulis utama dari penelitian ini Katie Lotterhos, dari Pusat Ilmu Kelautan Universitas Northeastern, perubahan komposisi lautan sebagai akibat dari polusi karbon kemungkinan akan mempengaruhi semua spesies permukaan.

“Dalam beberapa dekade mendatang, komunitas spesies yang ditemukan di satu wilayah akan terus bergerak dan berubah dengan cepat,” ujarnya dikutip, Minggu (10/10/21).

Sementara itu, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat jumlah bencana, seperti banjir dan gelombang panas (heatwave), akibat perubahan iklim meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir. Tidak hanya itu, deretan bencana ini juga menewaskan lebih dari 2 juta orang dan menelan kerugian total US$ 3,64 triliun atau sekitar Rp 51.981 triliun (asumsi Rp 14.200/US$).

Baca Juga:Menhan Australia Sebut-sebut Indonesia Saat Bicara Soal Ancaman China

Dalam laporan terbarunya, organisasi di bawah naungan PBB itu mengatakan mereka melakukan tinjauan paling komprehensif tentang kematian dan kerugian ekonomi akibat cuaca, air, dan iklim ekstrem yang pernah dihasilkan. Ini mensurvei sekitar 11.000 bencana yang terjadi antara 1979-2019, termasuk bencana besar seperti kekeringan 1983 di Ethiopia, peristiwa paling fatal dengan 300.000 kematian, dan Badai Katrina di Amerika Serikat (AS) pada 2005 yang membuat kerugian US$ 163,61 miliar.

Laporan tersebut menunjukkan tren yang semakin cepat, dengan jumlah bencana meningkat hampir lima kali lipat dari tahun 1970-an hingga dekade terakhir. Ini menambah tanda-tanda bahwa peristiwa cuaca ekstrem menjadi lebih sering karena pemanasan global.

WMO mengaitkan frekuensi yang meningkat dengan perubahan iklim dan pelaporan bencana yang lebih baik. Biaya dari peristiwa tersebut juga melonjak dari US$ 175,4 miliar pada 1970-an menjadi US$ 1,38 triliun pada 2010-an ketika badai seperti Harvey, Maria dan Irma melanda AS. “Kerugian ekonomi meningkat seiring meningkatnya eksposur,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.

Baca Juga:Australia Minta Dunia Perlu Tahu Asal Covid-19

Sementara bahaya bencana menjadi lebih mahal dan sering terjadi, jumlah kematian tahunan turun dari lebih dari 50.000 pada tahun 1970-an menjadi sekitar 18.000 pada tahun 2010. Ini menunjukkan bahwa perencanaan yang lebih baik telah membuahkan hasil. “Sistem peringatan dini multi-bahaya yang ditingkatkan telah menyebabkan penurunan angka kematian yang signifikan,” tambah Taalas.

Namun lebih dari 91% dari 2 juta kematian terjadi di negara berkembang. Ini mencatat bahwa hanya setengah dari 193 anggota WMO yang memiliki sistem peringatan dini multi-bahaya. Petteri Taalas juga mengatakan bahwa “kesenjangan yang parah” dalam pengamatan cuaca, terutama di Afrika, merusak keakuratan sistem peringatan dini.

WMO berharap laporan tersebut akan digunakan untuk membantu pemerintah mengembangkan kebijakan untuk melindungi masyarakat dengan lebih baik. (cnbc/hm12)

Related Articles

Latest Articles