10.7 C
New York
Wednesday, March 27, 2024

Kudeta Myanmar, Anak Muda Protes: Tak Mau Kembali ke Masa Gelap di Bawah Diktator

Myanmar, MISTAR.ID

Anak-anak muda di Myanmar mengatakan mereka “tak mau kembali ke masa gelap di bawah diktator”, dalam aksi protes menentang kudeta militer yang disebut pengamat bisa lebih parah dari kerusuhan Indonesia pada Mei 1998.

Semangat menentang kudeta militer mereka tunjukkan dengan tetap turun ke jalanan pada Jumat (05/03), dua hari setelah Myanmar menyaksikan hari paling berdarah, dengan 38 orang meninggal terkena peluru tajam aparat.

Sejak korban jiwa mulai berjatuhan pada Minggu (28/2/21), jumlah total korban meninggal sudah lebih dari 50 orang. Gelombang protes besar-besaran mulai muncul beberapa hari setelah militer melancarkan kudeta dan menahan Aung San Suu Kyi serta pemimpin sipil lain pada 1 Februari 2021.

Baca Juga:Junta Myanmar Semakin Beringas

Anak-anak muda ini menyuarakan pesan yang sama, mereka akan berjuang agar bisa hidup di alam demokrasi.

Ma Thandar termasuk di antara ribuan anak muda di Yangon yang turun ke jalan. Nama-nama dalam laporan ini bukan nama sebenarnya untuk menjaga keamanan.

“Alasan saya bergabung adalah karena saya termasuk orang yang menderita di bawah diktator sejak saya lahir. Kami telah memiliki demokrasi dan saya tidak bisa membayangkan sejarah berulang. Saya tak bisa membayangkan kembali ke masa gelap. Saya tak mau generasi berikutnya hidup seperti kami,” kata Ma Thandar kepada BBC News Indonesia.

Pemerintahan sipil di Myanmar baru dimulai pada 2011, mengakhiri hampir 50 tahun pemerintahan militer.

Baca Juga: Junta Militer Dakwa Presiden Myanmar Langgar Konstitusi

Dalam pemilu pertama Myanmar pada 2015, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai pimpinan Aung San Suu Kyi, menang besar dan demikian pula halnya pada November 2020 lalu, kemenangan yang tak diterima oleh kubu militer.

Junta militer Myanmar tidak mengindahkan seruan Perhimpunan Negara Asia Tenggara, ASEAN, dan negara-negara lain untuk menahan diri setelah puluhan korban jatuh akibat peluru tajam.

Pengamat masalah hubungan internasional Dinna Prapto Raharja mengatakan perkembangan di Myanmar dapat lebih parah dibandingkan kerusuhan di Indonesia pada Mei 1998.

“Dalam perkembangan terakhir, sudah ada isu bahwa militer sebenarnya sudah tidak solid, sudah terbentuk faksi-faksi, makanya faksi yg kuat memilih untuk lebih keras menggunakan senjata,” kata Dinna, praktisi dan pengajar Hubungan Internasional dari Synergy Policies, kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin.

Baca Juga: Puluhan Ribu Warga Myanmar Demo, Penahanan Suu Kyi Diperpanjang

“Tetapi karena NLD belum berhasil menguasai satupun faksi militer tersebut, risikonya adalah pertumpahan darah yang saya khawatirkan lebih buruk daripada Indonesia tahun 1998. Mungkin malah lebih buruk daripada Indonesia 1965,” imbuh Dinna yang pernah menjadi wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights dari 2016-2018.

Demo reformasi mahasiswa 1998 berkembang menjadi kerusuhan besar di sejumlah kota besar termasuk Jakarta, Medan dan Solo. Saat itu menurut kepolisian, jumlah korban yang meninggal di Jakarta saja mencapai 200 orang.

Namun, Dinna mengatakan kondisi di Myanmar jauh lebih buruk dibandingkan Indonesia dulu.

“Di Myanmar belum terbangun konsensus nasional tentang identitas negara, masih sangat kuat kesukuannya dan partai-partainya pun berbasis suku, kecurigaan antar agama masih sangat tinggi, dan ada negara-negara asing yang investasinya diuntungkan oleh kubu militer, katanya lagi.

Baca Juga: Soal Kekerasan Kudeta, Para Jenderal Militer Myanmar Dijatuhi Hukuman Oleh PBB

Dalam satu video yang dikirimkan ke BBC News Indonesia oleh seorang demonstran di Myanmar, terlihat anak-anak muda menggunakan tripleks tipis sebagai perisai dan topi plastik yang biasa digunakan pekerja bangunan dalam menghadapi aparat.

Aparat menggunakan peluru karet, gas air mata, dan peluru tajam dalam membubarkan massa.

U Aung Tun, yang mengirimkan video tersebut, sempat dikejar aparat namun berhasil kembali ke rumahnya dengan selamat.

“Kami tak mau berada di bawah kediktatoran. Sebagian besar generasi kami dan yang berada di atas kami, tahu persis bagaimana buruknya. Inilah peluang terakhir kami. Bila kami berhenti sekarang, hidup akan kacau balau,” kata U Aung Tun yang tinggal di Yangon.

Cecep Yadi, WNI yang tinggal di pusat kota Yangon, menyaksikan demonstrasi ini setiap hari dalam beberapa pekan terakhir.

Baca Juga: Ribuan Demonstran Myanmar Konvoi Kendaraan Bermotor

“Saya berkomunikasi dengan teman-teman saya yang warga Myanmar dan ikut berdemonstrasi, semuanya memberi jawaban yang hampir sama, mereka ingin demokrasi, mereka tidak mau lagi hidup bernegara di bawah diktator militer,” cerita Cevep.

“Melihat antusiasme dan semangat para demonstran di Myanmar, membuat saya merasa salut dengan orang Myanmar, terutama generasi mudanya. Mereka menghadapi kudeta yang sedang terjadi dengan tetap mengutamakan persatuan dan kemanusiaan. Mereka melakukan demonstrasi, orasi di jalan secara besar-besaran, tapi berusaha tertib dan damai,” imbuhnya.

Tekanan yang dirasakan anak-anak muda ini sempat diamati oleh Eni Mulia, Direktur Perhimpunan pengembangan media Nusantara, yang berkunjung ke Myanmar sekitar dua tahun lalu.

“Teman-teman jurnalis muda yang saya temui mengatakan mereka sangat ingin bisa bekerja dengan aman dan bebas. Pemerintah dan aparat sudah mengontrol media dengan kekuasaan mereka sejak lama sebelum kudeta. Kemerdekaan pers benar-benar di titik yang terendah. Itu saat saya berkunjung pada 2019.

“Apalagi sekarang, sejak kudeta terakhir ini,” kata Eni.

Baca Juga: Paus Fransiskus dan Ulama Syiah Ali al-Sistani, Diskusi Tentang Keselamatan Umat

Sementara pengamat hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, mengatakan kondisi di bawah tekanan dengan perekonomian buruk membuat anak-anak muda semakin terdorong untuk melakukan protes.

“Saya tidak terkejut dengan perkembangan bahwa banyak anak muda yang terlibat dalam gerakan pembangkangan sipil di Myanmar. Sebenarnya protes mahasiswa pernah berkali-kali muncul sebagai bentuk kekecewaan mereka karena negara yang totaliter tetapi ekonominya buruk, pekerjaan tidak tersedia, lulusan sulit mendapatkan pekerjaan.

“Kita masih ingat kejadian tersebut sebagai gerakan 8888 di tahun 1988 yang ditumpas sangat keji sekaligus diakhiri dengan kudeta berdarah,” kata Dinna.

Kurang dari 72 jam setelah militer melakukan kudeta pada tanggal 1 Februari lalu, orang Myanmar menumpahkan kemarahan dan frustasi terhadap militer melalui media sosial paling populer, Facebook.

Baca Juga: Setelah Kerusuhan Berdarah Pasca Kudeta, Pengunjuk Rasa Myanmar Kembali Turun ke Jalan

Pembangkangan sipil mulai muncul di dunia siber dan menyatukan semua kalangan, mulai dari dokter, perawat, guru, aparat sipil negara dan bahkan polisi.

Aksi protes kemudian segera berpindah dari media sosial ke jalanan.

Lebih dari dua minggu setelah kudeta, demonstrasi anti-kudeta terus berkembang, sampai hari berdarah pertama pada Minggu, 28 Februari lalu.

Militer tidak hanya menggunakan peluru karet, meriam air dan gas air mata untuk membubarkan massa, namun juga peluru tajam. Rabu (3/3/21) lalu, Myanmar menyaksikan hari paling berdarah dengan korban meninggal 38 orang dan secara total korban meninggal lebih dari 50 orang.

Mereka yang berada di jantung protes ini adalah Generasi Z, mereka yang lahir pada akhir 1990-an dan 2012. Generasi yang menolak kembali ke era militer setelah sempat merasakan singkat demokrasi.

Myanmar kembali ke pemerintahan sipil pada 2011, setelah hampir 50 tahun berada di bawah militer.

Pemilihan umum pertama pada 2015 dimenangkan oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi, NLD pimpinan Aung San Suu Kyi. NLD kembali menang besar pada pemilu November lalu, namun ditentang oleh militer.

Siapa Generasi Z Myanmar?

Sejarawan Myanmar, Thant Myint-U, menulis baru-baru ini di Financial Times bahwa baik militer dan Aung San Suu Kyi serta partai NLD patut disalahkan. Ia mengatakan generasi muda akan dapat mengubah arah negara.

Generasi Z Myanmar mencakup demografi yang cukup luas, termasuk para dokter, perawat, seniman, banjir, para guru dan para aktivis lain.

Mereka memiliki aspirasi berbeda. Para demonstran juga mendapatkan dukungan dari selebritas termasuk para aktor, musisi dan blogger. Sementara warga Burma yang tinggal di luar negeri juga memainkan peranan penting dalam mendukung protes melalui media sosial.

Keberanian yang ditunjukkan para demonstran ini muncul walaupun ada kenangan buruk dalam kekerasan selama kudeta militer pada 1988.

Para pengunjuk rasa menyadari bahwa militer dapat melakukan penahanan semena-mena dan militer bahkan dilaporkan merencanakan untuk menerapkan “hukum keamanan siber”, sehingga menyulitkan demonstran mengatur protes melalui internet.

Sejak timbulnya korban pada Minggu (28/2/21), militer menggunakan kendaraan lapis baja di Yangon dan sejak itu jumlah demonstran di jalan-jalan agak berkurang.

Para pakar mengatakan, gerakan yang terjadi di Myanmar sekarang ini serupa dengan protes pada 1988. Namun kemarahan saja tidak cukup.

Pengamat politik Min Zin, baru berusia 14 tahun saat bergabung dalam protes tahun 1988. Ia saat ini tinggal di pengasingan dan menjadi pengamat.

Baru-baru ini, Zin mengatakan kepada New York Times bahwa “tekanan publik saja tidak akan membuka jalan bagi transisi politik”.

“Tanpa strategi yang dipikirkan mendalam untuk mencapai tujuan konkret, cepat atau lambat, kami akan selalu berakhir dengan menghadapi represi, di bawah bentuk pemerintahan militer,” katanya.(BBCIndonesia/hm13)

Related Articles

Latest Articles