8.8 C
New York
Saturday, May 11, 2024

Krisis Energi dan Ukraina Jadi Topik Utama di Agenda KTT Uni Eropa

Jakarta, MISTAR.ID

Menemukan strategi bersama untuk meredakan pasar energi Uni Eropa (UE) yang tengah mengalami krisis, menjadi topik diskusi utama dalam agenda pertemuan puncak para pemimpin Uni Eropa, selama dua hari di Brussels, Belgia, minggu ini.

Harga energi meroket, seperti energi gas, batu bara, dan minyak, sejak karantina Covud-19 di cabut di seluruh dunia. Saat perekonomian dunia mulai dibuka, perang di Ukraina justru memperburuk krisis.

Selain itu, pemotongan pasokan gas Moskow ke UE juga telah berdampak secara bertahap pada harga gas di blok tersebut.

Harga energi telah melambung dan memecahkan rekor tertinggi hingga €335 (setara Rp5,1 juta) untuk tiap megawatt per jam (MWh) di musim semi ini. Kemudian, harganya turun menjadi sekitar €225 (setara Rp3,4 juta) per MWh. Namun angka tersebut masih jauh melambung sekitar 300%, sejak awal tahun 2022.

Phuc-Vinh Nguyen, seorang peneliti di Institut Jacques Delors Paris, Perancis, mengatakan kepada tim DW bahwa jika perang Ukraina terus memanas, harga gas Eropa akan tetap relatif tinggi.

Baca juga:Presiden Ukraina Pecat Duta Besarnya di Kazakhstan

“Dalam hal gas, kita mungkin berada dalam situasi di mana harganya akan menjadi €80 (setara Rp1,2 juta) per MWh pada tahun 2025, yakni empat kali lebih besar dari yang biasa kita bayar saat ini, dan ini akan menjadi masalah besar bagi industri dan juga konsumen,” ujarnya.

Para pemimpin Uni Eropa dan para menteri energi mereka telah mengadakan serangkaian pertemuan selama beberapa minggu terakhir untuk menemukan solusi dalam mengurangi kenaikan harga energi ini. Namun strategi bersama itu belum ada di atas meja.

Perpecahan pendapat masih bertahan pada “pembatasan harga,” di mana beberapa negara UE, termasuk Belgia, Italia, Polandia dan Yunani menginginkan batas harga grosir gas untuk negara-negara Eropa. Negara lain seperti Belanda dan Jerman justru menentang langkah tersebut, karena khawatir akan merugikan pasokan dan permintaan gas secara global.

Dalam wawancaranya dengan Politico pada September lalu, Perdana Menteri Belgia Alexander de Croo mengatakan “jika Eropa menetapkan batas harga gas 5% lebih tinggi dari kawasan seperti Asia, semua pedagang di dunia masih akan tetap menjualnya di Eropa, karena mereka masih mau mendapatkan harga yang lebih menarik daripada di Asia.”

Tetapi menurut Philipp Lausberg, seorang analis di Pusat Kebijakan Eropa yang berbasis di Brussels, sulit untuk mencapai kesepakatan antar-Eropa dalam menentukan batasan harga tersebut.

“Banyak negara kaya, terutama Jerman, masih berhati-hati dalam menyumbangkan lebih banyak dana ke tingkat Eropa,” kata Lausberg kepada tim DW.

Lausberg menambahkan bahwa sebagai blok perdagangan terbesar di dunia, UE memiliki posisi negosiasi yang jauh lebih kuat daripada masing-masing negara anggotanya, dan itu akan memungkinkan organisasi ini untuk menegosiasikan harga yang lebih murah, yang kemudian dapat menguntungkan konsumennya.

Menahan harga
Presiden Dewan Eropa Charles Michel telah meminta para pemimpin UE untuk menemukan solusi bersama dalam menangani masalah ini di pertemuan KTT Uni Eropa pada akhir pekan ini, terutama dalam menghadapi situasi domestik yang berbeda tiap negara. Michel mengatakan bahwa mereka harus fokus pada “mengurangi permintaan, memastikan keamanan pasokan dan menahan harganya.”

Para pemimpin Uni Eropa juga akan membahas usulan Komisi Eropa untuk mengatasi krisis energi. Badan eksekutif UE itu telah mengusulkan bahwa “langkah terakhir” yang harus diambil UE adalah menetapkan batas harga pada pertukaran gas utama Eropa, Title Transfer Facility (TTF), yakni pusat perdagangan virtual gas alami yang berbasis di Belanda. Komisi Eropa juga menunjukkan bahwa strategi itu dapat membantu menurunkan harga energi dan tidak mendistorsi permintaannya.

Ketika protes terus memanas di seluruh benua atas meroketnya harga energi, Komisi Eropa juga mengusulkan agar negara-negara UE menggunakan hampir €40 miliar dari anggaran Uni Eropa, untuk mendukung perusahaan dan warga yang terkena dampak dari krisis energi ini.

“Kami juga akan memperkenalkan mekanisme sementara untuk membatasi harga yang dapat melambung pada musim dingin ini, sambil kami terus mengembangkan patokan baru, sehingga Gas Alam Cair (LNG) dapat diperdagangkan dengan harga yang masuk akal,” kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, saat konferensi pers di Strasbourg, Perancis, pada 17 Oktober.

Lausberg juga mengatakan kepada tim DW bahwa sementara indeks harga LNG terbaru akan relatif lebih mudah untuk diperkenalkan dan dapat menurunkan harga relatif lebih cepat, itu semua tetap tergantung pada kestabilan harga LNG, yang saat ini justru lebih murah daripada gas yang dikirim Rusia.

“Jika harga LNG naik lagi, seluruh perhitungan ini tidak dapat membantu kita. Dan masalah lainnya adalah jika kita memperkenalkan indeks yang baru, maka kita juga perlu pelaku pasar untuk benar-benar menggunakan indeks itu, karena indeks itu baru dan orang-orang belum dapat mempercayainya. Biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama,” tambahnya.

Baca juga:Krisis Energi, Eropa Terancam ‘Kedinginan’

Bantuan untuk Ukraina
Selain krisis energi, cara-cara potensial untuk membantu Ukraina menghadapi perang yang masih berkecamuk di negaranya itu, juga menjadi agenda utama dalam KTT Uni Eropa tersebut.

Mengomentari bagaimana pasukan Rusia terus menjatuhkan bom ke wilayah sipil di Ukraina, Presiden Dewan Eropa Charles Michel menyoroti bahwa dia ingin para pemimpin Uni Eropa membahas bantuan untuk Ukraina, dan berdiskusi bagaimana Uni Eropa dapat memenuhi kebutuhan Kyiv dalam jangka waktu menengah dan panjang.

Awal pekan ini, para menteri luar negeri Uni Eropa menandatangani perjanjian untuk meningkatkan kekuatan militer Ukraina dan juga menyelidiki keterlibatan Iran dalam memasok senjata ke Rusia.

“Tim Misi Bantuan Militer Uni Eropa akan melatih para Angkatan Bersenjata Ukraina sehingga mereka dapat melanjutkan perjuangan mulia mereka,” kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell dalam sebuah pernyataan.

Diskusi strategis tentang Tiongkok
Sementara itu, Michel juga meminta para pemimpin Uni Eropa untuk mengadakan “diskusi strategis” tentang Cina, untuk mengembangkan strategi bersama dalam menghadapi Beijing.

“Kami memiliki hubungan baru dengan Cina dan akan dibahas apakah kami perlu menyesuaikan atau mengubah kebijakan kami terhadap Cina,” kata seorang pejabat Uni Eropa kepada wartawan saat konferensi pers di Brussels.

Blok itu terpecah-belah saat membahas kebijakan untuk Cina tersebut, dengan negara-negara seperti Jerman tetap menegaskan sikap mereka untuk Beijing baru-baru ini dan Prancis justru mengejar pendekatan terbatas, sementara Baltik tengah mengevaluasi kembali hubungan mereka dengan Cina.

Tetapi bagi Mathieu Duchatel, direktur Program Asia di Institut Montaigne Paris, konvergensi antar-Eropa di banyak elemen kebijakan Cina telah sangat “luar biasa” dalam beberapa tahun terakhir.

“Uni Eropa sudah membangun kotak peralatan langkah-langkah defensif untuk mengatasi banyaknya asimetri dalam hubungan perdagangan dan investasi UE-Cina, mulai dari penyaringan investasi hingga larangan kerja paksa baru-baru ini. Sementara strategi Indo-Pasifik Uni Eropa mungkin kurang gigih di bidang keamanan. Hal itu memberikan negara-negara anggota UE panduan yang bermanfaat untuk mendiversifikasi perdagangan dan investasi dari Cina, ke mitra mereka di Indo-Pasifik,” jelas Duchatel kepada tim DW.

Dia menambahkan bahwa Eropa tetap bersatu dalam agenda pertahanannya dalam menghadapi Cina. “Cina semakin diperlakukan sebagai risiko geopolitik yang perlu dikelola, dan di diplomasikan dengan sabar untuk mencapai suatu hasil, terlepas dari semua perbedaan kita yang merupakan bagian dari permainan itu,” katanya. (detik/hm06)

Related Articles

Latest Articles