8.8 C
New York
Thursday, March 28, 2024

AS Danai Penelitian Virus Berbahaya di Wuhan, Benarkah?

Wuhan, MISTAR.ID

Perdebatan asal-usul virus corona (Covid-19) belum usai. Namun polemik baru kini muncul terkait penelitian yang dilakukan di China dengan bantuan dana dari pemerintah Amerika Serikat. Benarkah begitu?

Persoalan ini berkaitan dengan dugaan yang belum terbukti bahwa virus corona berasal dari sebuah laboratorium di Wuhan, kota tempat virus itu pertama kali terdeteksi. Desas-desus itu merujuk pada penelitian virus dari kelelawar di Institut Virologi Wuhan.

Senator Partai Republik, Rand Paul, menuduh uang pemerintah AS mendanai penelitian di lembaga itu. Paul menuding, riset tersebut akhirnya membuat beberapa virus (bukan virus corona) lebih menular dan lebih mematikan. Proses itu dikenal sebagai gain-of-function atau mutasi yang meningkatkan fungsi virus.

Baca Juga:WHO: Covid-19 Bukan Dari Laboratorium Wuhan

Namun tuduhan Paul itu sudah dibantah dengan tegas oleh Kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), Anthony Fauci. Teori konspirasi virus corona berasal dari laboratorium China mengembalikan Trump ke panggung politik.
Apakah kita perlu mencari tahu dari mana asal virus corona?

WHO berkata ‘sangat tidak mungkin’ virus corona berasal dari laboratorium di China. Apa yang dimaksud riset’gain-of-function’? “Gain-of-function” merupakan proses saat suatu organisme mengembangkan kemampuan baru (atau fungsi).

Proses ini dapat terjadi di alam, tapi juga bisa di laboratorium, saat para ilmuwan memodifikasi kode genetik atau menempatkan organisme di lingkungan yang berbeda. Ini dilakukan untuk mengubah genetik dengan cara tertentu.

Salah satu contoh riset ini adalah saat para ilmuwan mencoba membuat tanaman tahan kekeringan. Contoh lainnya adalah penelitian untuk memodifikasi agen penular penyakit pada nyamuk agar peluangnya menularkan infeksi lebih kecil.

Baca Juga:Wuhan Sarang Corona Kini jadi Tempat Teraman

Sementara jika riset itu dilakukan terhadap virus yang dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia, virus itu dapat berpotensi lebih menular dan berbahaya. Banyak ilmuwan menjustifikasi penelitian semacam ini dengan berkata bahwa riset ini dapat mempersiapkan penanganan wabah dan pandemi pada masa depan. Melalui riset ini, menurut mereka, ilmuwan dapat memahami bagaimana virus berevolusi. Oleh karenanya, mereka bisa mengembangkan prosedur perawatan dan vaksin yang mumpuni.

Apakah AS mendanai penelitian virus di China? Ya, AS memang menyumbangkan sejumlah dana. Fauci, selain sebagai penasihat untuk Presiden Joe Biden, adalah direktur Institut Alergi dan Penyakit Menular Nasional AS (NIAID). Lembaga itu merupakan bagian dari Institut Kesehatan Nasional AS (NIH).

Institut Kesehatan Nasional AS memang memberikan sejumlah dana untuk EcoHealth Alliance, sebuah organisasi yang bekerja sama dengan Institut Virologi Wuhan. EcoHealth Alliance yang berbasis di AS pada tahun 2014 mendapatkan dana untuk melihat potensi munculnya virus corona dari kelelawar.

EcoHealth menerima US$3,7 juta (Rp53,6 miliar) dari NIH. Setidaknya US$600.000 di antaranya atau sekitar Rp8,6 miliar mereka berikan kepada Institut Virologi Wuhan. Pada 2019, proyek tersebut diperbarui hingga 2024, tapi kemudian dibatalkan pada April 2020 karena pandemi Covid-19.

Baca Juga:Selidiki Asal-Usul Virus Corona, Tim WHO Dikarantina 14 Hari di Wuhan

Apakah uang AS digunakan untuk riset peningkatan fungsi virus? Senator Rand Paul menuduh uang pemerintah AS digunakan untuk membantu menciptakan virus berbahaya.

Pada bulan Mei lalu, Fauci menyatakan bahwa Institut Kesehatan Nasional AS tidak pernah mendanai penelitian fungsi virus di Institut Virologi Wuhan. Pekan ini, senator Rand Paul bertanya kepada Fauci, apakah dia berencana meralat pernyataan tersebut. “Seperti yang Anda ketahui, berbohong kepada Kongres adalah kejahatan,” ujarnya kepada Fauci.

Senator Paul yakin penelitian tersebut memenuhi beberapa kriteria penelitian penambahan fungsi virus. Dia merujuk dua makalah akademis yang disusun Institut Virologi Wuhan. Salah satu makalah itu dibuat tahun 2015 bersama peneliti dari University of North Carolina dan satu lagi dikerjakan tahun 2017.

Baca Juga:Penyelidikan WHO Soal Corona di Wuhan Masih Lanjut

Salah satu ilmuwan terkemuka mendukung pernyataan Paul. Dia adalah Profesor Richard Ebright dari Rutgers University. Dia berkata bahwa penelitian dalam dua makalah menunjukkan bahwa virus baru (yang belum ada secara alami) diciptakan. Penelitian itu disebutnya berisiko menciptakan patogen potensial baru yang lebih menular. “Penelitian dalam kedua makalah tersebut merupakan penelitian ‘gain-of-function’,” ujarnya.

Ebright berkata, keduanya memenuhi definisi resmi dari penelitian tahun 2014, saat pemerintah AS menghentikan pendanaan untuk riset serupa karena masalah keamanan hayati. Pendanaan dihentikan sampai kerangka kerja baru selesai disusun untuk penelitian semacam itu.

Mengapa Fauci menolak tuduhan ini? Fauci bertestimoni kepada Senat bahwa penelitian itu “telah dievaluasi beberapa kali oleh orang-orang yang memenuhi syarat agar mutasi yang meningkatkan fungsi virus tidak terjadi”.

Fauci juga berkata, “secara molekuler tidak mungkin” virus-virus ini menghasilkan virus corona, meskipun dia tidak menjelaskan argumentasinya secara lebih lanjut”. Institut Kesehatan Nasional AS dan EcoHealth Alliance juga telah menolak tuduhan bahwa mendukung atau mendanai penelitian “peningkatan fungsi virus” di China.

Baca Juga:Astaga! Investigasi Wuhan: Ada Covid-19 pada Ikan dan Daging asal Vietnam dan Brazil

Dua badan itu menyatakan, mereka mendanai sebuah proyek untuk memeriksa “pada tingkat molekuler” terkait virus kelelawar yang baru ditemukan dan protein lonjakannya yang membantu virus mengikat sel hidup.

Riset itu, menurut klaim mereka, dilakukan tanpa mempengaruhi lingkungan atau perkembangan atau keadaan fisiologis organisme.

Salah satu ilmuwan AS yang berkolaborasi dengan institut Virologi Wuhan dalam penelitian virus kelelawar tahun 2015 adalah Ralph Baric dari University of North Carolina. Dia mengungkapkan sejumlah penjelasan kepada surat kabar Washington Post.

Baric berkata, pekerjaan yang mereka lakukan ditinjau Institut Kesehatan Nasional AS dan komite keamanan hayati universitasnya. Peninjauan itu, menurutnya, dilakukan untuk melihat potensi kemungkinan penelitian yang meningkatkan fungsi virus dan bukan riset yang jelas-jelas mengubah virus.

Baric berkata, tidak ada virus yang diteliti dalam studi terkait Sars-Cov-2 pada tahun 2015. Sars-Cov-2 adalah penyebab pandemi Covid-19. Baric mengakui, penelitian mereka menunjukkan bahwa virus memiliki “sifat intrinsik” yang memberi mereka kemampuan untuk menginfeksi manusia.

Baca Juga:Lockdown Dicabut, Ribuan Orang Hadiri Festival Musik di Wuhan

Namun, kata Baric, “Kami tidak pernah memasukkan mutasi ke lonjakan virus untuk meningkatkan pertumbuhan mereka dalam sel manusia.” Peneliti dan ahli biologi AS di Broad Institute of MIT dan Harvard, Alina Chan, menyoroti alasan pemerintahannya untuk menghentikan sementara pendanaan riset tersebut pada tahun 2014.

Pemerintah AS kala itu menyebut bahwa mereka menghentikan pendanaan untuk riset yang mungkin memberikan atribut pada virus influenza, MERS, atau SARS sehingga virus itu dapat mengembangkan patogenisitas dan/atau kemampuan menulari mamalia melalui pernapasan. Pernyataan itu dapat menyiratkan bahwa penelitian tentang virus mungkin tidak bermaksud untuk menghasilkan “keuntungan fungsi”, walau riset itu bisa menyebabkan hal tersebut.

Poin yang lebih umum adalah bahwa setiap evaluasi penelitian dan risiko yang terlibat dapat bersifat subjektif. “Tidak selalu ada konsensus pada penelitian keuntungan fungsi virus, bahkan di antara para ahli, dan lembaga untuk menafsirkan dan menerapkan kebijakan secara berbeda,” kata Rebecca Moritz dari Colorado State University. (dtc/hm12)

Related Articles

Latest Articles