15.7 C
New York
Sunday, May 5, 2024

91 Persen Warga Tigray Ethiopia Darurat Pangan!

Tigray, MISTAR.ID

Perang yang terjadi di Tigray Ethiopia selama tujuh bulan terakhir telah membuat penderitaan luar biasa bagi warga sipil di negara tersebut. Selain menyebabkan jutaan warga mengungsi, warga yang masih bertahan kini mengalami darurat pangan atau kelaparan akut hingga meliputi 5,2 juta penduduk atau sekitar 91 persen dari populasinya.

Hal ini diungkap Persatuan Bangsa-Bangsa melalui Program Pangan Dunia (WFP) yang meminta lebih dari US$ 200 juta untuk meningkatkan responsnya di wilayah utara negara tersebut. Pasalnya, hampir tujuh bulan pertempuran telah menyebabkan peningkatan tingkat kelaparan yang sudah tinggi, demikian dikutip dari laman media, Rabu (2/6/21).

“WFP khawatir akan dampak konflik pada tingkat kelaparan yang sudah tinggi,” kata juru bicara Tomson Phiri kepada wartawan di Jenewa. “Kami sangat prihatin dengan jumlah orang yang membutuhkan dukungan nutrisi dan bantuan makanan darurat.”

Baca juga: Konflik Bersenjata Tigray Picu Lebih 500 Kasus Pemerkosaan

Badan tersebut mengatakan, telah memberikan bantuan darurat kepada lebih dari satu juta orang di wilayah barat laut dan selatan Tigray, Ethiopia pada Maret 2021. “WFP menyerukan US$ 203 juta untuk terus meningkatkan responsnya di Tigray guna menyelamatkan nyawa dan mata pencaharian hingga akhir tahun.”

Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2019, memerintahkan operasi militer darat dan udara di Tigray pada awal November 2020 setelah menuduh partai yang berkuasa di wilayah utara saat itu, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), mendalangi serangan terhadap kamp tentara federal.

TPLF, yang mendominasi politik nasional selama beberapa dekade hingga Abiy berkuasa pada 2018, mengatakan pasukan federal dan musuh lamanya Eritrea melancarkan “serangan terkoordinasi” terhadapnya.

Abiy, yang pasukannya didukung oleh pasukan dari Eritrea dan pejuang dari wilayah Amhara Ethiopia, menyatakan kemenangan pada akhir November ketika tentara memasuki ibu kota regional, Mekelle.  Perkelahian dan penganiayaan, bagaimanapun, terus berlanjut, memicu kekhawatiran akan konflik yang berkepanjangan dengan efek yang menghancurkan pada penduduk sipil.

Baca juga: Konflik Bersenjata Di Tigray Berlanjut, Ratusan Warga Sipil Tewas

Konflik tersebut diperkirakan telah menewaskan ribuan orang, bahkan lebih, dengan hampir dua juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Pada Mei 2021, kepala Organisasi Kesehatan Dunia Teros Adhanom Ghebreyesus, yang berasal dari Tigray, menggambarkan situasi di wilayah itu sebagai “sangat mengerikan”, dengan “banyak orang” sekarat “karena kelaparan”. Pekan lalu, seorang pejabat senior PBB mendesak Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan segera untuk menghindari kelaparan di Tigray.

“Ada risiko kelaparan yang serius jika bantuan tidak ditingkatkan dalam dua bulan ke depan,’ tulis Mark Lowcock, koordinator bantuan darurat utama PBB. Dia memperkirakan bahwa “lebih dari 90 persen panen hilang karena penjarahan, pembakaran, atau perusakan lainnya, dan 80 persen ternak di wilayah tersebut dijarah atau disembelih.”

WFP mengatakan, ketidakstabilan itu merusak upaya pekerja kemanusiaan untuk menjangkau komunitas rentan di Tigray, terutama di daerah pedesaan. “Gencatan senjata dan akses tanpa hambatan sangat penting bagi WFP dan semua mitranya di Tigray untuk menjangkau semua area dan semua orang yang sangat membutuhkan dukungan guna menyelamatkan nyawa,” kata Phiri.

Selain itu, ia memperingatkan bahwa badan tersebut menyaksikan meningkatnya tingkat kekurangan gizi di antara perempuan dan anak-anak. Ditemukan bahwa hampir separuh ibu hamil atau menyusui di 53 desa mengalami malnutrisi sedang atau akut, sementara hampir seperempat dari semua anak yang diskrining ditemukan mengalami malnutrisi.

Baca juga: PM Ethiopia Sebut Operasi Militer Di Tigray Rampung

Pandemi Picu Resesi Dan Kekerasan

Sebagian besar negara Afrika mungkin terhindar dari jumlah kematian tinggi yang dibawa Covid-19 ke wilayah lain, tetapi Afrika sekarang menghadapi resesi, meningkatnya kekerasan, dan kenaikan angka pengangguran karena pandemi, demikian menurut laporan Ibrahim Forum.

“Penutupan ekonomi global telah mendorong Afrika ke dalam resesi untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, dengan dampak parah berupa pengangguran, kemiskinan, ketidaksetaraan dan kerawanan pangan,” kata Laporan Ibrahim Forum 2021.

Laporan itu dirilis menjelang konferensi tahunan pada akhir pekan ini yang diadakan Yayasan Mo Ibrahim, yang mempromosikan pemerintahan yang baik di Afrika. Negara-negara Afrika menerapkan pembatasan perjalanan yang ketat dan pelacakan kontak yang gencar ketika wabah Covid-19 dimulai, dan langkah itu berpotensi menyelamatkan jutaan nyawa, kata laporan itu.

Akan tetapi, Afrika adalah satu-satunya benua di mana insiden kekerasan meningkat selama pandemi. Kekerasan massa meningkat 78 persen, sementara lebih dari 90 orang terbunuh oleh pasukan keamanan yang menerapkan aturan pembatasan penguncian, kata laporan itu.

Baca juga: Militer Ethiopia Rebut Daerah Konflik Tigray, Pemberontak Dipukul Mundur

Berbagai upaya penyelesaian konflik dan kontra-pemberontakan diperkecil sehingga membuka pintu bagi kelompok-kelompok ekstremis untuk memanfaatkan masa pandemi dengan mengisi celah yang ditinggalkan oleh negara.

“Covid-19 telah diintegrasikan ke dalam propaganda kelompok-kelompok, seperti Al Shabab dan Boko Haram, untuk membantu membenarkan tujuan mereka,” kata Camilla Rocca, Kepala Penelitian di yayasan Mo Ibrahim.

“Mereka ingin melukis diri mereka sebagai penyedia layanan. Misalnya, Al Shabab yang membuka klinik-klinik dan cabang ISIS di (Republik Demokratik Kongo) untuk menyediakan obat-obatan,” katanya. (liputan6/ant/hm09)

Related Articles

Latest Articles