13.1 C
New York
Saturday, May 4, 2024

487 Pejabat Tinggi Peru Terlibat Skandal Vaksinasi Rahasia

Lima, MISTAR.ID

Terbongkarnya skandal vaksinasi rahasia yang melibatkan ratusan pejabat tinggi dan politisi di Peru mengakibatkan beberapa menteri di Peru mengundurkan diri salah satunya Menteri Luar Negeri (Menlu) Peru.

Melansir media pada Selasa (16/2/21), Presiden Peru Francisco Sagasti mengatakan telah menerima pengunduran diri Elizabeth Astete. Penyelidikan kini sedang dilakukan terhadap pejabat publik senior lainnya yang telah menerima dosis awal vaksin Covid-19.

Wakil Menteri Kesehatan Peru Luis Suárez Ognio juga mengundurkan diri karena laporan bahwa dia divaksinasi sebelum petugas kesehatan. Skandal itu pecah pada Kamis (11/2/21) ketika mantan presiden Peru Martin Vizcarra mengonfirmasi laporan dia dan istrinya telah menerima suntikan vaksin dari perusahaan farmasi negara China, Sinopharm pada Oktober.

Baca juga: Giliran Menlu Peru Mundur Akibat Skandal Vaksin Covid-19

Vizcarra digulingkan dari jabatannya pada 9 November karena tuduhan korupsi. Vizcarra mengklaim bahwa dia dan istrinya, Maribel Diaz Cabello, divaksinasi sebagai bagian dari uji klinis. Tetapi Universitas Cayetano Heredia, yang bertanggung jawab atas uji coba tersebut, membantah mereka berpartisipasi sebagai sukarelawan.

Selama pemerintahan Vizcarra, 2.000 dosis tambahan dari vaksin Sinopharm telah diterima oleh Peru dan “beberapa pejabat publik senior divaksinasi,” tulis Sagasti di Twitternya.

Berbicara kepada radio lokal pada Minggu malam, presiden baru itu menyampaikan kemarahannya dengan skandal tersebut. Dia mengklaim dosis yang digunakan untuk memvaksinasi pejabat pemerintah disumbangkan oleh Sinopharm. Jadi, bukan bagian dari kelompok vaksin Covid-19 yang digunakan untuk uji coba yang dipimpin oleh Universitas Cayetano Heredia di Peru.

Sagasti mengumumkan sebanyak 487 orang “mengambil keuntungan dari posisi mereka” untuk menerima vaksin Sinopharm buatan China lebih awal,” menurut pidatonya yang disiarkan televisi Senin malam, media pemerintah melaporkan.

Baca juga: Peru Tolak Vaksin Covid-19 AstraZeneca

“Kami mengulangi kekesalan dan kekecewaan kami setelah diberi tahu bahwa 487 orang, termasuk banyak pejabat senior, memanfaatkan posisinya. Mereka diimunisasi dengan vaksin Sinopharm, yang datang sebagai pelengkap dari yang digunakan dalam uji klinis di negara kami,” kata Sagasti.

Menteri Kesehatan Peru Pilar Mazzetti mengundurkan diri pada Jumat (12/2/21). Menteri kesehatan yang baru, Oscar Ugarte, telah meluncurkan penyelidikan untuk mengidentifikasi pejabat lain yang divaksinasi tahun lalu.

“Dengan transparansi dan ketegasan yang menjadi ciri pemerintah kami, kami akan mempublikasikan hasil penyelidikan dan informasi yang diberikan oleh Pusat Studi Klinik Universitas Heredia Cayetano,” tambah pemimpin baru Peru itu.

Menlu Astete adalah pejabat Peru memimpin negosiasi untuk membeli vaksin Sinopharm. Dalam sebuah pernyataan pada Minggu (14/2/21), dia mengaku divaksinasi pada 22 Januari dengan apa yang dia yakini sebagai “dosis yang tersisa dari batch yang dipegang oleh Universitas Heredia Cayetano.”

“Sebagai hasil dari pengungkapan baru-baru ini tentang vaksinasi (mantan) Presiden Vizcarra dan istrinya, serta dampak yang dapat dimengerti dari berita ini terhadap opini publik, saya menyadari kesalahan serius yang saya buat, itulah mengapa saya memutuskan tidak menerima dosis kedua,” katanya.

Baca juga: Social Distancing, Perubahan Gaya Hidup Mencegah Covid-19 Sampai 2022

Peru menerima 300.000 dosis pertama vaksin Sinopharm pada 7 Februari. Vaksin Covid-19 ini mulai mendistribusikannya ke petugas kesehatan di garis depan dua hari kemudian, membuatnya menjadi negara Amerika Latin pertama yang melakukan langkah itu.

Negara tersebut telah menandatangani perjanjian lain dengan Pfizer dan Oxford-AstraZeneca, tetapi vaksin tersebut belum diluncurkan di sana. Peru saat ini bergulat dengan kebangkitan virus.

Dilaporkan ada lebih dari 6.000 kasus sehari, jumlah kasus Covid-19 tertinggi kelima di Amerika Latin, setelah Brazil, Kolombia, Argentina, dan Meksiko, menurut data dari Universitas Johns Hopkins. Mereka juga menghadapi kekurangan tempat tidur unit perawatan intensif dan oksigen seiring dengan meningkatnya kasus. (kompas/hm09)

Related Articles

Latest Articles