12.3 C
New York
Friday, April 19, 2024

Tuna Netra Rindu Melihat Dunia Melalui Buku

Pematangsiantar | MISTAR.ID – Tuna Netra adalah seseorang yang mengalami gangguan penglihatan, baik itu kebutuhan total atau sebagian, sehingga untuk beraktifitas, khususnya komunikasi tulisan memerlukan alat bantu teknik khusus (huruf braille).

Bagi penyandang disabilitas netra, perpustakaan terakses adalah perpustakaan yang menyediakan bahan bacaan, baik buku, surat kabar, dan sumber lainnya, dalam format braille atau digital.

Tagor Leo Sitohang SH, adalah ketua dari GASS Peduli, dalam wawancaranya pada Mistar, Kamis (24/10/19) lalu di Taman Baca Mutiara Bangsa, adalah pengajar huruf braille untuk kota Pematangsiantar.

“Awalnya saya cuma seorang pustakawan kecil, yang hanya membuka perpustakaan mini di rumah. Salah satu anggota PERTUNI datang ke rumah untuk meminjam buku yang bisa dibacanya. Saya tidak punya buku braille yang biasa mereka baca. Bapak itu pulang dengan hampa,” ujar Tagor.

Akhirnya Tagor mengajukan permohonan buku braille kepada Perpustakaan Provinsi Sumatera Utara.

“Saya sudah mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kota Pematangsiantar, namun mereka tidak ada tanggapan apapun. Alasannya pemerintah tidak ada dana. Akhirnya saya mengajukan permohonan pada Pemrov Sumatera Utara, puji Tuhan pada tanggal 12 Oktober 2019 lalu, Pemrov Sumatera Utara membawa 50 buku braille dengan judul yang berbeda- beda,” ujarnya dengan tersenyum.

Dia juga dengan bangga mengatakan bahwa dari semua Taman Baca di kota Pematangsiantar, perpustakaan mininya itu adalah satu satunya yang memiliki buku Braille. Hal itupun disampaikan Tagor kepada PERTUNI.

Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) adalah Suatu Lembaga Swadaya Masyarakat, yang didirikan oleh sekelompok tuna netra.

Di kota Pematangsiantar juga ada PERTUNI, yakni di jalan Medan Km 4,5.
Ketika Mistar menyambangi kantor tersebut, sungguh sangat disayangkan bahwa kantor tersebut masih numpang di salah satu rumah anggotanya.

“Kami tidak ada biaya untuk membuat kantor sendiri. Ini pun kami sudah bersyukur pada Tuhan untuk kota Pematangsiantar, kami sudah bisa diakui. Sudah 4 tahun lah lembaga ini berdiri. Dari tahun 2012 kami berusaha untuk mendapatkan akte pendirian lembaga ini.

Masalahnya,biaya yang harus kami keluar tidak sedikit. Hasil dari pungutan anggota sebesar 5000 tiap bulan dan bantuan sukarelawan, akhirnya doa kami terwujud.” kata Parlindungan Sitorus, sebagai Ketua PERTUNI.

Walaupun hanya beranggotakan 20 orang, namun semangat para tuna netra untuk bertahan hidup tidaklah gampang seperti masyarakat umum biasanya.
Seperti halnya Adelina Purba yang sudah lama tidak bisa melihat. Dia memiliki anak 5 orang, semuanya normal dan bahkan sudah menikah. Semua kegiatan sebagai ibu rumah tangga dilakoninnya.

“Sekarang sudah lebih baik dibandingkan dulu kalau memasak didapur. Sekarang sudah ada gas elpiji, kalau dulu saya memasak menggunakan kayu bakar. Rasa api ataupun panasnya minyak yang baru dari penggorengan, sudah biasa ditangan saya.” ujarnya sambil tersenyum memegang tangannya yang sudah mulai lesu karena umurnya mulai menua.

Anggota PERTUNI ini kata Parlindungan lagi, ingin belajar membaca, ataupun ingin mengetahui tentang kabar yang terjadi, baik di kota Pematangsiantar sendiri ataupun dunia. Dan gagasan ini pernah disampaikannya kepada Tagor Leo Sitohang. Permintaan tersebut pun langsung ditanggapi Tagor.

Biasanya sekali sebulan atau menurut permintaan dari PERTUNI untuk belajar buku braille, disebabkan aktivitas para tuna netra ataupun dari Tagor juga.
Kegiatan ini sangat membantu para tuna netra. Dan Tagor tidak ada meminta bayaran apapun. Karena menurut Tagor ini sudah kewajibannya dalam bermasyarakat untuk saling membantu.

Sebenarnya PERTUNI sudah pernah mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah kota Pematangsiantar, namun ditolak. Bahkan beberapa proposal yang sudah diajukan ditolak langsung begitu saja dengan alasan yang tidak jelas.

Ester Sitorus sebagai mitra bakti atau lebih dikenal dengan perantaraan PERTUNI kepada pemerintahan untuk mengajukan beberapa proposal.

“Pada waktu itu saya dan sekretaris PERTUNI yang menghadap ke pemerintahan. Kata mereka, seperti ketika mengajukan proposal minta bantuan untuk kantor PERTUNI, dana tidak ada. Sudah habis untuk keperluan Pilkada.

Begitu juga ketika mengajukan proposal untuk melaksanakan Natal tahun ini, langsung ditolak. Alasannya keputusan APBD sudah tertera, jadi untuk masalah dana sudah ada tertulis bagian masing-masing. Kata mereka Kami terlambat mengajukannya,” ujarnya.

Parlindungan berharap kiranya pemerintah kota Pematangsiantar mau memperhatikan para tuna netra ini. Misalnya dengan memberikan edukasi untuk kami agar bisa lebih baik ataupun menikmati indahnya dunia ini. Apabila kami tidak bisa melihat nya, tapi kami bisa merasakan atau pun mendengar dari orang lain.

Pada kesempatan itu saya diajarin bagaimana cara menggunakan ataupun membaca huruf braille. Tulisan Braille berupa huruf-huruf timbul yang sederhana dan praktis dan metoda membaca dipakai diseluruh dunia.

Tulisan braille yang ditulis menonjol / timbul di atas kertas dan dibaca dengan cara meraba secara lembut dan perlahan tulisan, terdiri atas 6 titik atau lubang dan dijadikan 2 baris, masing-masing 3 titik dari atas kebawah.

Jika hanya titik pertama dari baris pertama yang timbul, itu huruf a.
Jika titik pertama dan kedua dari baris pertama yang timbul itu huruf b.Tulisan Braille terdiri dari 63 karakter, yang meliputi huruf, angka, tanda baca, tanda ulang, huruf besar dll.

Saat itu Adelina membaca huruf braille pada kitab injil. Kitab agamanya itu berbeda dengan kitab yang dibaca masyarakat umum. Tapi isi dan maknanya tetap sama.

Ketika dia mulai membaca, jari jarinya mulai meraba buku tersebut. Titik yang timbul ia raba sambil bergeser pelan pelan ke kanan. Dengan lancar dia menjelaskan tentang buku tersebut. Secercah harapan tampak terlihat di senyumnya.

“Berharap tak ada lagi tuna netra yang mengandalkan hidup menjadi peminta minta atau tukang pijit. Tuna netra bisa menjadi pengusaha, setidaknya pengusaha UMKM, sehingga bisa hidup mandiri,” katanya sambil mengusap wajahnya.
Keterbatasan fisik jangan menjadi penghalang sehingga semena menanya mendiskriminasi keterbatasan yang mereka miliki.

Reporter: Yetty
Editor: Herman Maris

Related Articles

Latest Articles