8.3 C
New York
Thursday, March 28, 2024

Sutanto Tan, Sang Motor Penggerak Kebaikan

Medan, MISTAR.ID – Siang itu, kira-kira pukul sebelas, langit Kota Medan tengah mendung. Di beberapa titik, gerimis sudah turun. Beberapa anak, tampak bermain di halaman sekolah Methodist II. Sekolah itu letaknya tepat di persimpangan Jalan MT Haryono dan Jalan Thamrin.

Tak seperti hari biasa, aktivitas belajar mengajar di sekolah itu tak lagi berjalan, karena ujian akhir semester telah rampung. Siswa hadir ke sekolah untuk mengikuti ujian susulan atau perbaikan. Ada juga yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler.

Keriangan anak-anak di halaman sekolah itu terhenti saat hujan mulai turun. Hujan cukup deras dan memaksa mereka kembali ke emperan kelas.

Di salah satu sudut kelas, berdiri seorang pria paruh baya. Berpenampilan sederhana, dengan kacamata bening berukuran sedang. Matanya sipit, tapi memancarkan ketegasan. Beberapa helai rambutnya mulai memutih.

“Dingin-dingin begini, enaknya kita ngopi,” katanya sembari menuntunku ke warung kopi melalui lorong-lorong kelas.

Warung kopi itu terletak di belakang gedung sekolah, di luar pagar. Beberapa guru lain juga tampak berbaur dengan warga sekitar. Menikmati kopi, berpadu camilan dan tentu saja gorengan.

Sosok ini bernama Sutanto Tan. Dia dikenal sebagai guru yang galak di sekolah itu. Sebenarnya bukan galak, tetapi tegas. Dia juga mengaku tak segan-segan menampar muridnya jika kelewat kurang ajar. Itu dulu. Sekarang sekali-sekali saja.

Hanya saja, di balik ketegasannya itu, dia memiliki jiwa sosial tinggi. Sosok sederhana ini juga dikenal sebagai guru yang paling sering menolong orang lain, siapa pun itu. Dia beberapa kali secara spontan menggalang dana, jika ada guru atau orang lain yang sakit.

Pimpinan yayasan atau kepala sekolah tempatnya mengajar sudah kadung percaya padanya. Itu terjadi karena dia keseringan menggalang dana untuk membantu orang. Guru-guru didatangi satu per satu, bahkan para siswa. Bahkan dia juga menggalang dana melalui media sosial.

Bukan itu saja. Dia juga berkawan baik dengan preman atau pemuda setempat dekat sekolah. Sikap tolong menolongnya ini setidaknya telah membuatnya aman di lingkungan itu. Saat ini, dia juga mengangkat anak salah satu pemuda di sekitar sekolah itu.

Anak perempuan itu masih kecil, belum cukup umur untuk sekolah. Namun, dia bersama guru lainnya sudah berkomitmen untuk menyekolahkan anak tersebut. Dia akan disekolahkan di Methodist 2, dengan biaya yang ditanggung oleh mereka. Tak hanya anak itu, beberapa siswa yang kurang mampu juga dibantu.

Untuk urusan ini, Sutanto hanya sebagai motor penggerak. Misalnya, ada satu anak tak mampu bayar uang sekolah, dia kemudian meminta anak-anak lain urunan. Langkah ini dimaksudkannya untuk membentuk jiwa sosial anak sejak dini. Jika dana yang terkumpul belum cukup, baru kemudian dia melobi pihak sekolah.

Sebenarnya, jiwa sosial dalam diri Sutanto tidak terbentuk begitu saja. Aksi dermawannnya ini bermula saat anak keduanya, Velisia Catherine Sutanto divonis mengidap kanker darah atau leukimia pada awal 2010 silam. Biaya pengobatan untuk penyakit macam ini bukan sedikit.

Nasib Sutanto saat ini sangat beruntung. Murid-muridnya secara spontan menggalang dana besar-besaran. Guru-guru juga terlibat, termasuk sumbangan dari masyarakat. Dana yang terkumpul saat itu mencapai Rp1,25 miliar. Tak hanya itu, beberapa orang juga menggalang dana dari media sosial dan dia mendapat bantuanig Rp500 juta. Ada juga satu orang yang dikenalnya, menggalang dana melalui salah satu surat kabar dan berhasil mengumpulkan Rp450 juta.

“Dan uang yang saya dapat itu, saya pakai untuk mengobati anak saya,” ungkanya.

Sutanto membawa anaknya ke Penang, Malaysia untuk menjalani kemoterapi dan serangkaian pengobatan lainnya. Sebagian dana yang terkumpul habis untuk biaya pengobatan. Tetapi tetap, masih ada yang tersisa.

Saat mengobati anaknya itu, dia melihat banyak orang kesusahan. Hatinya kemudian tergerak untuk menyerahkan sisa uang sumbangan itu kepada pasien lain. “Dan pada saat itu, yang paling kita nikmati adalah ketika orang menerima pemberian kita,” katanya.

Sutanto tak bisa menjelaskan dengan kata-kata perasaan yang dia peroleh setelah memberi itu. Bagi dia, pemandangan itu tidak bisa dengan apa pun. “Luar biasa itu. Dan itu bisa ketagihan,” katanya.

Mujizat bagi dia. Anaknya dinyatakan sembuh setelah beberapa bulan menjalani pengobatan. Itu tepat pada 20 Desember 2010. Padahal, sebelumnya dia bersama keluarga sempat meminta, agar bisa merayakan Natal di Medan. “Ini mujizat. Anak saya dinyatakan sembuh tanggal 20. Tanggal 24 malam kami tiba di Medan dan bisa merayakan Natal,” katanya.

Sejak saat itu, Sutanto menbulatkan hatinya untuk menolong orang kurang mampu. Siapa saja dibantunya. Orang tak dikenal sekali pun dibantunya. Dia tak segan-segan mengeluarkan uang untuk membantu orang lain.

Bagi dia, perbuatan baik, terutama memberi tak bisa membuatnya jadi miskin. “Justru, ketika kita ada duit, lalu kita tahu ada yang butuh, duit itu bukan kita yang punya,” ucapnya.

Lebih dari itu, dia merasa candu. Candu akan berbuat baik. Dia kecanduan akan kepuasan emosional, perasaan haru dan bahagia saat menolong orang lain. Dia ingin terus mengulang-ulang perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata itu.

Penulis : Daniel
Editor : Rika Yoesz

Related Articles

Latest Articles