7.4 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Marilyn Lie Mendobrak Keterbatasan Untuk Pengabdian

INSPIRASI, MISTAR.ID – Keterbatasan tidak harus membuat orang juga terbatas dalam melaksanakan aktivitasnya. Semangat yang tinggi dan kepedulian pada orang lain yang bisa mengalahkan keterbatasan tersebut. Itulah sisi menarik dari seorang Marilyn Lie, gadis berusia 26 tahun yang mengabdikan dirinya untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Meskipun dalam kondisi Tuna Netra atau Low Visual, ia mampu mengabdikan dirinya untuk anak-anak Multiple disability with visual impairment (MDVI)

Pada tahun 2014, Marilyn mengajak 4 temannya, Linda Wati, Sri Melati, Eti Saragih dan Riki Dermawan, membuat sebuah sekolah Dwi Tuna Harapan di jalan Yos Sudarso, Medan. Sekolah ini dikhususkan pada anak-anak tuna netra yang juga penyandang down syndrome dan Rubella, atau disebut Multi disability with visual impairment. Yang menarik dari sekolah ini, mereka berlima, para pendidik di sekolah ini juga para penyandang tuna netra. Tetapi semangat mereka luar biasa.
Pada tahun 2014, Marilyn mengajak 4 temannya, Linda Wati, Sri Melati, Eti Saragih dan Riki Dermawan, membuat sebuah sekolah Dwi Tuna Harapan di jalan Yos Sudarso, Medan. Sekolah ini dikhususkan pada anak-anak tuna netra yang juga penyandang down syndrome dan Rubella, atau disebut Multi disability with visual impairment. Yang menarik dari sekolah ini, mereka berlima, para pendidik di sekolah ini juga para penyandang tuna netra. Tetapi semangat mereka luar biasa.

Pada tahun 2014, Marilyn mengajak 4 temannya, Linda Wati, Sri Melati, Eti Saragih dan Riki Dermawan, membuat sebuah sekolah Dwi Tuna Harapan di jalan Yos Sudarso, Medan. Sekolah ini dikhususkan pada anak-anak tuna netra yang juga penyandang down syndrome dan Rubella, atau disebut Multi disability with visual impairment. Yang menarik dari sekolah ini, mereka berlima, para pendidik di sekolah ini juga para penyandang tuna netra. Tetapi semangat mereka luar biasa.

Tidak gampang menangani anak-anak MDVI. Meski Marilyn tak sampai menamatkan dirinya untuk menjadi seorang phisikolog, namun ia mampu mempraktekan ilmunya kepada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.

“Ini adalah tantangan. Bisa mengendalikan anak-anak yang berbeda dari anak-anak yang lain. Yang terpenting adalah persoalan kemauan, keseriusan dan konsistensi dalam menangani anak-anak tersebut,” ujar Marilyn.

Ada yang menarik dari kalimat tulus seorang Marilyn, mengapa mereka mengabdi untuk anak-anak yag memiliki keterbatasan. Tentu saja, alasannya bukanlah finansial.

“Kita akan tua, dan tentunya akan meninggal. Ketika kita tidak ada, mereka harus survive,” ujar Marylin.

Sekolah Dwi Tuna Harapan bukan hanya diperuntukan bagi mereka yang mampu. Dalam prakteknya, mereka menemukan anak-anak yang kurang mampu, namun orang tuanya menginginkan perubahan bagi anaknya. Untuk itulah, sekolah yang hanya memiliki 8 orang siswa ini melakukan subsisi silang.

Agar operasional mencukupi, Marilyn bersama guru lainnya dan juga anak-anak, membuat sabun cuci piring, soufenir, kerupuk dan lainnya untuk dijual.

“Tuhan selalu mencukupi,” ujar Marilyn begitu optimisnya.

Meski secara fikis Marilyn memiliki kekurangan, namun tidak membuat merilyn merasakan hal tersebut. Ia sendiri mampu mengendalikan anak-anak yang belum tentu mampu dilakukan oleh orang lain.

Kegigihan inilah yang membuat sekolah Dwi Tuna Harapan mendapat penghargaan inovasi pada tahun 2019 dari Kementraian Pemberdayaan Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

Marilyn adalah gambaran bagi kita, bahwa tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa diri tidak mampu. Sosok Marilyn adalah bukti, bahwa ia bisa mengabdi untuk anak-anak negri. Dan mengajak mereka untuk juga bermimpi meski memiliki keterbatasan.

Tahun ini, tepat perayaan imlek, Marilyn sangat berharap, perayaan tahun baru ini ia bisa semakin bermanfaat bagi masyarakat. Baginya, tahun baru adalah tradisi perayaan suka cita, karena satu tahun lagi terlah berlalu.

Penulis : Rika Yoesz

Related Articles

Latest Articles