15.4 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Jaulung Wismar Saragih, Menjadi Guru dan Pendeta di Simalungun

Siantar | MISTAR.ID – Jaulung menerima tawaran tuan pendeta Jerman untuk dibaptiskan. Dipilihlah nama baptis, Wismar. Ia dibaptis tanggal 11 September 1911 dengan nama baru, Jaulung Wismar Saragih. Itulah awal kehidupan baru seorang laki-laki Sinondang Simalungun.

Berita tentang Jaulung masuk Kristen benar-benar mengagetkan ibunya, walaupun ia tak tahu apa artinya masuk Kristen, tetapi ia semakin kuatir anaknya akan benar-benar meninggalkannya. Hingga kemudian dilakukan rapat keluarga untuk membahas bahwa Jaulung masuk Kristen karena keinginannya untuk menjadi guru. Semua kecewa mendengarnya masuk Kristen.

Tapi tidak ada yang berani mengusir Jaulung dari rumah, karena cita-citanya jadi guru itu perlu mendapat sokongan. Apalagi cita-cita Jaulung menjadi guru godang. Karena belum ada keluarga mereka yang bercita-cita seperti Jaulung. Dan mendengar cita-cita Jaulung, mereka terkagum-kagum. Jaulung memberikan penjelasan mengenai Kristen macam apa yang dikenalnya.

Dan akhirnya, seluruh keluarga sepakat untuk tetap membiayai Jaulung sekolah guru untuk menjadi guru godang. Walaupun mereka tidak senang Jaulung masuk Kristen, tetapi cita-citanya membanggakan mereka. Mereka tetap memberi makan dan membiarkan Jaulung tinggal di rumah bersama ibunya. Jaulung berjanji akan membalas kasih sayang keluarganya yang begitu besar itu dengan tekun belajar dan meraih cita-citanya.

Bulan Oktober 2010, berangkatlah Jaulung bersama seorang temannya yang baptis sama-sama, Paulus Purba, ke Sipoholon. Lima hari mereka berjalan kaki melintasi hutan, ladang, sawah dan tebing-tebing serta jurang. Mereka membawa bekal beras dan lauk pauk secukupnya. Bila sore tiba, mereka mencari tumpangan di rumah orang yang dilewatinya. Beristirahat disana sambil menanak nasi.

Ada sekitar 500 orang yang turut ujian masuk di sekolah itu. Ujian dilaksanakan selama dua hari. Tetapi, pada hari pertama Jaulung jatuh. Dari lima soal ujian tertulis, tidak satupun yang dapat dikerjakannya. Rupanya pelajaran yang diujikan itu sangat asing baginya. Ia gagal, begitu juga temannya, Paulus Purba. Dengan kekecewaan yang luar biasa, Jaulung pulang bersama Paulus Purba.

Meski jatuh, sejak itu Jaulung kerjanya hanya belajar, tapi tak makan nasi. Jaulun makan nasi setelah kawan-kawannya membujuk, dan mengingatkan bahwa cita-cita tidak akan tercapai kalau ia menyiksa dirinya sendiri. Ia terus belajar siang dan malam. Genap setahun, ujian masuk sekolah guru kembali dibuka. Oktober 1911, ia siap mengikuti ujian. Kali ini pendeta Theis menganjurkannya untuk ujian di Narumonda, bukan di Sipoholon.

Jaulung kembali berangkat bersama Paulus Purba. Ujian dilaksanakan selama tiga hari. Jaulung dan Paulus Purba kebagian ujian di hari ketiga. Mereka lulus, masuk sekolah guru untuk angkatan 1911-1915 di Zending-Kweekschool Narumonda. Itu berarti mereka harus tinggal di Narumonda. Kabar gembira itu mereka kabarkan kepada keluarganya masing-masing setelah tiba di Pematang Raya.

Setelah itu, Jaulung kembali ke Narumonda untuk menggapai cita-citanya. Di kelasnya, ada 26 orang yang diterima dan ia berada di urutan 25. Dalam keadaan seperti itu, ia terus mengejar ketertinggalannya. Dalam bahasa Toba, ia berdoa memohon kepintaran agar dapat menyamai kepintaran anak-anak sekelasnya. Doa yang disertai usaha yang keras dalam belajar, di akhir triwulan pertama, ia sudah berhasil menyamainya.

Seteleah lulus sekolah, Jaulung memulai pelayanannya sebagau guru godang. Tanggal 18 Oktober 1915, Wismar mulai dipekerjakan di sekolah zending. Tuan Pendeta Theis memberi tugas kepadanya untuk mengunjungi rumah-rumah sekolah di Resort Raya. Itu dilakukannya selama tiga bulan, hingga akhir Desember 1915. Di setiap sekolah ia tinggal selama satu minggu, menumpang di rumah-rumah guru. Ia ikut mengajar di sekolah-sekolah dengan pelajaran-pelajaran yang sangat baru.

Di Rayausang, Wismar berusaha menyadarkan anak-anak perempuan mau bersekolah, dan menyadarkan para orangtuanya bahwa tidak ada perbedaan perempuan dengan laki-laki. Ia memulai sekolah untuk anak perempuan. Di luar jam sekolah, dan setelaha anak-anak perempuan itu bekerja di ladang, dibuka jam pengajaran buat mereka, malam hari.

Pada April 1916, Wismar dipindah ke Raya Tongah. Setelah ibu dan saudara-saudara perempuannya di baptis menjadi kristen. Di usia 28 tahun, Wismar menikah dengan Katarina Boru Purba, pada 11 Juli 1916. Di Raya Tongah, Wismar memulai pekerjaan barunya. Ia tak hanya mengajar, tapi berupaya untuk melakukan perubahan cara hidup para peladang. Ia ingat pengalamannya ketika mengikuti perjalanan gurunya ketika masih sekolah dulu.

Cara bertani orang-orang Toba jauh lebih maju dibandingkan dengan orang kampungnya di Simalungun. Cara mereka berladang sangat rapi. Waktu itu Wismar berpikir, ingin meniru cara bertani orang Toba dan mempraktekkannya di kampungnya. Wismar ingin orang-orang kampungnya melihat cara yang dilakuaknnya dan menirunya. Ia juga mulai memperbaiki sawahnya di Bah Tungkup.

Selain ingin memajukan pertanian, Wismar juga mempunyai cita-cita untuk memperbaiki kebiasaan-kebiasaan orang Simalungun yang kurang baik, terutama pergaulan anak muda. Untuk itu ia terus menerus menganjurkan kepada anak-anak muda di Raya Tongah untuk masuk sekolah. Untuk anak-anak perempuan ia mulai merintis jalan baru seperti yang dilakukannya di Rayausang.

Suatu kali ia membaca surat kabar terbitan Batavia “Bentara Hindia” yang memuat tulisan tentang pemeliharaan bahasa dalam kamus. Ia terkesan betul dengan tulisan yang mengatakan bahwa “Pagar untuk ladang ialah kawat, kayu atau bambu tetapi pagar untuk bahasa ialah kamus”.

Tulisan itu menggugah hatinya untuk dapat membuat kamus bahasa Simalungun. Mulai tahun 1916, Wismar mengumpulkan kata-kata dan istilah Simalungun, kemudian mencatatnya dengan tulisan tangan. Upaya itu diimbangin dengan perintisan penggunaan bahasa Simalungun dalam kebaktian di gereja Raya Tongah.

Bila ia diminta berkhotbah atau mengajar agama di sekolah atau di rumah-rumah, ia selalu memakai bahasa Simalungun. Ia menterjemahkannya langsung dari bacaan-bacaan yang berbahasa Toba ke dalam bahasa Simalungun. Dengan demikian banyak orang simalungun semakin tertarik pada pendidikandi sekolah maupun mengikuti kebaktian-kebaktian di gereja.

Pelajaran sekolah pun mulai ia tulis dengan bahasa Simalungun. Namun kerja keras yang dilakukannya hampir selama tiga tahun itu mendapat tantangan yang berat. Ia bertanya ke Inspektur Sekolah yang ada di Medan, apakah buku yang ia tulis tersebut dapat dicetak pada percetakan pemerintah di Batavia? Sebab ia berharap buku itu dapat digunakan di daerah Simalungun.

Wismar sadar betul, pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan dari Tuhan dan untuk Tuhan. Tetapi pekerjaan barunya, sebagai Penghulu Balai, itupun telah ia mintakan petunjuk dari Tuhan. Walaupun demikian ia juga mengatakan bahwa hati nuraninya masih sebagai guru dan pekerja zending. Ia minta kepada teman-temannya mendoakan agar ia tetap dapat menjadi Garam Dunia.

Walau sudah diangkat menjadi Penghulu Balai, ia masih terus memberitakan injil dan bersaksi. Kesaksian-kesaksian itu ia nampakkan dalam pekerjaannya. Ia berusaha bertindak arif dan bijaksana serta adil. Selanjutnya, di tengah keinginannya untuk menjadi evanggelis menggebu-gebu, ia mendapat surat dari Ephorus Dr. J .Warneck. Ia dipanggil untuk menjadi pendeta. Itu jawaban atas doa-doanya.

Dalam suratnya, tuan Ephorus menjelaskan gaji yang akan diterima Wismar tidak sebanding dengan gajinya sebagai pegawai pemerintah. Ia membawa surat itu ke rumah dengan sukacita yang luar biasa. Ia memberitahukan hal itu kepada abangnya, Jaudin. Pulang dari rumah abangnya, ia menjawab surat Tuan Ephorus, menyatakan kesediaannya memenuhi panggilan sebagai pendeta.

Tiga tahun menempuh kursus pendeta di Sipoholon dan ketika lulus ia langsung ditempatkan di Simalungun. Tiga hari ujian akhir kependetaan, dan seluruh peserta kursus pendeta lulus. Mereka ditahbiskan menjadi pendeta oleh Tuan Ephorus Warneck tanggal 15 Desember 1929 di gereja Simanungkalit. Dari pelajaran yang diterimanya selama kursus, ada 24 buku yang telah ditulisnya.

Tahun 1930, Pendeta Wismar memulai pekerjaannya sebagai evangelis. Dengan bertempat tinggal di Pematang Raya, Wismar yang mulai dikenal dengan sebutan Pendeta Wismar, kembali menjelajah daerah Simalungun. Kerajaan-kerajaan Simalungun pun ia jelajahi. Dari Siantar, Tanah Jawa, Panei, Raya, Purba, Silima Kuta, Dolok Silau bahkan ia menyusuri daeraah-daerah Karo yang berbatasan dengan Simalungun dan Toba.

Banyak berkat yang Wismar rasakan dalam kehidupannya sebagai pemberita Injil. Tetapi tidak jarang ia pun harus menunjukkan kepada orang-orang bahwa ia tahu kepercayaan lama para penyembah roh. Seperti yang terjadi di Kanpung Barung-Barung pada Desember 1930. Waktu itu ia bersama Pendeta Mulia Nainggolan. Kampung itu terletak antara Jawa Tongah dan Marjanji, Tanah Jawa.

Di situ, Pendeta Wismar mengikuti acara penyembahan roh seperti dilakukan orang-orang. Mula-mula ia dekati sangkah-sangkah dan periuk berisi anggir atau air jeruk purut yang dikelilingi lambei gorsing (Dan Palma Muda). Lalu ia mengaduk-aduk anggir itu dengan pisau dan mulailah ia mengucap mantera lalu manabas dengan kuat.

Pendeta Mulia Nainggolan pun terheran-heran melihat tingkah laku temannya itu. Ia tidak menyangka Wismar dapat berlaku seperti dukun. Tetapi ia tak berani menegor. Ia ingin melihat reaksi masyarakat. Ternyata masyarakat pun terheran-heran melihat dukun yang tidak mereka kenal itu manabas di halaman kampung mereka.

Orang-orang itu turun dari rumahnya masing-masing setelah tahu bahwa dukun yang manabas itu telah selesai. “Tabar, tabar, tabar,” jawab mereka serentak. Mereka saling berpandangan dan bertanya karena memang tidak satupun yang mengenalnya. Tetapi mereka pun menyuguhkan sirih kepada guru-guru datu panabas itu. Masyarakat itu menanyakan asal dari Pendeta Wismar.

Setelah saling berkenalan, Pendeta Wismar dan Mulia memperkenalkan diri. Mereka mengatakan bahwa keduanya adalah pemberita Injil. “Kami datang dari jauh untuk memberitakan Injil. Walapun tadi kita bilang tabar, tabar tetapi kalau Tuhan tidak menghendaki tabar, maka tidak akan menjadi tabar,” jelas Wismar.

“Kita tidak mengharapkan, tetapi walaupun bagaimana ada saja nanti yang meninggal dari kampung ini. Karena hidup ini ada di Tangan Tuhan. Dia yang berkuasa atas kita semua,” ujarnya lagi. Lalu Pendeta Wismar pun mulai berkhotbah dan orang-orang mendengarkan dengan tekun.

Kejadian seperti itu sering dialami oleh Pendeta Wismar. Dan dengancara-cara seperti itu, mereka dapat mendekati masyarakat adan membuat masyarakat tertarik pada Injil. Tetapi tidak hanya itu yang Wismar lakukan. Kalau menghadapi orang sakit pun ia dapat mengobatinya. Dan ia telah banyak belajar cara-cara seperti itu, sehingga semakin banyak saja orang yang mendengarkan Injil.

Reporter: : Ferry Napitupulu (Dikutip dari buku novel sejarah berjudul ‘J.W. Saragih, Rasul Simalungun’ ditulis oleh Padmono Sk)
Editor: Herman

Related Articles

Latest Articles