8.4 C
New York
Thursday, March 28, 2024

Jaulung Wismar Saragih, Mengenal Agama Kristen

Siantar, MISTAR.ID Jaulung sekolah di Pematang Raya. Dia dididik Guru Adonia Silitonga di sana. Setiap hari Jaulung pulang pergi ke kampungnya ke Pematang Raya. Jarak dari kampungnya itu, Parsomagodan ke Pematang Raya sekitar 7 kilometer melalui Gunung Huluan. Sebenarnya ada jalan pintas, tapi melalui jurang yang mengerikan, sehingga Jaulung enggan melewati jalan tersebut.

Perjalanan pulang pergi ke sekolah itu sangat meletihkannya. Jaulung pun meminta ibunya bermohon agar gurunya bersedia menerimanya untuk tinggal bersama dengan gurunya. Meski agak berat harus menahan rindu kepada anaknya, sang ibu akhirnya bersedia mendatangi guru Jaulung ke sekolahnya dengan membawa beras satu gampil dan seekor ayam. Setelah menjelaskan kewajiban anak yang bersekolah disitu, sang guru bersedia menerimanya.

Jaulung belajar siang dan malam. Karena itu gurunya, tuan Domitian Tambunan sangat senang dan mengasihinya. Dengan sikap yang sangat hormat pada guru, rajin mengerjakan segala yang diperintahkan gurunya. Ia akhirnya menjadi murid yang paling pandai. Gurunya semakin sayang kepadanya. Ia tak segan-segan membantu pekerjaan guru di rumahnya. Selepas sekolah ia mencari kayu bakar, atau mengambil air atau sayur mayur.

Di sekolah itu Jaulung mengenal agama Kristen. Ia diperkenalkan kepada Yesus Kristus. Diperkenalkan kepada kita-kitab Injil, hukum-hukum Allah dan sebagainya. Tetapi semua pelajaran itu diberikan dalam bahasa Toba. Semula ia merasa asing dengan bahasa itu, tetapi dengan kerja keras dan tekun, ia dapat segera menguasai bahasa itu. Dalam waktu sekejap ia mampu mempelajari bahasa itu sampai ke tulisan-tulisannya.

Karena itu, ketika diperkenalkan dengan cerita-cerita kristen, ia berpikir bahwa semua itu merupakan peristiwa yang terjadi di daerah Toba. Bahkan Yesus yang diperkenalkan kepadanya pun ia pikir orang Toba. Sebab Yesus itu dalam cerita gurunya, berkata-kata pun dengan bahasa Toba. Dan dalam kepulangannya ke Parsimagodan, ia bercerita kepada ibunya, bahwa Yesus adalah orang Toba.

Suatu kali ada persidangan para guru zending di gereja Sigumpar (sekarang Kabupaten Toba Samosir,red), gereja dari Ephorus Nommensen. Ia diajak gurunya, sebagai pembawa barang. Ia tidak tahu siapa itu Ephorus Nommensen dan tidak terlalu tahu apa artinya pertemuan itu. Jaulung yang rajin memang sering diajak gurunya disaat liburan sekolah, menjelajahi daerah Toba, Humbang, Silindung dan Samosir.

Perjalanan demi perjalanan telah memperkaya pengalaman hidupnya. Kebanggaan dalam hatinya tumbuh dan berkembang, Bahkan berkenalan dengan tuan-tuan pendeta Zending, ia tak merasa asing. Hanya kadang-kadang ia kagum, begiru pintarnya orang-orang itu.

Bahasa pergaulan Jaulung pun memakai bahasa Batak Toba. Jaulung pun telah mengetahui sedikit-sedikit tentang isi kitab suci yang diajarkan oleh gurunya. Ia juga sudah tahu tentang cerita Yesus, tapi tak tahu Siapa dan Darimana Yesus, serta apa yang dilakukan-Nya.

Pengertian yang benar tentang semua pelajaran agama baru mulai terbuka ketika diajak gurunya ke Sigumpar. Jaulung terkejut dan sekaligus kagum dan terheran-heran ketika Tuan Ephorus berdoa. Ia tak mengikuti doa kerena memang ia tidak tahu artinya. Matanya terbuka ketika semua orang berdoa dengan mata tertutup dan menunduk, khusuk. Ia dengarkan dengan cermat setiap kata yang diucapkan dalam doa.

Hampir-hampir Jaulung meloncat dan berteriak karena gembiranya. Ketika orang-orang di kampungnya, Raya, disebut-sebut dalam doa. Ia sangat terkesan. Ia mulai berpikir, rupanya bukan hanya orang Toba saja yang didoakan oleh Tuan Ephorus. Muncul pertanyaan, apakah Tuhan yang diajarkan oleh tuan guru selama ini juga mengasihi orang-orang Simalungun? Orang Raya, Purba, dan orang Tigaras? Kenapa mereka disebut oleh Tuan Ephorus, sedangkan doa seperti itu tidak pernah diajarkan tuan-tuan guru?

Reporter: Ferry Napitupulu
Editor: Herman

Related Articles

Latest Articles