6.5 C
New York
Tuesday, March 26, 2024

Berawal Hobi Membaca, Membawa Koko Hendri Lubis Jadi Penulis

Medan | MISTAR.ID – Hobi membaca, membawa Koko Hendri Lubis menjadi salah seorang penulis yang diperhitungkan di Tanah Air. Tak tanggung-tanggung, pria kelahiran 42 tahun silam itu telah menjelajahi Benua Asia hingga Eropa, berkat kemampuannya dalam menulis.

Dikutid dari situs https:islandsofimagination.id, Koko Hendri Lubis lahir pada 1977 silam di Kota Medan. Pria ini dikenal sebagai peneliti budaya pop dan tradisi lisan di Sumatera Utara. Ia telah menulis banyak artikel di pelbagai buletin, surat kabar dan majalah.
Beberapa bukunya yang telah diterbitkan antara lain; Bayo Jambu: Cerita Rakyat dari Mandailing (2014), Si Muntu, Orang Buruk: Sastra Tutur dari Mandailing (2014), Kumpulan Buras Mandailing (2015), Hikayat Si Pogos (2015) dan Pernikahan Tradisional di Mandailing (2016).

Risetnya tentang komik telah menghasilkan dua buah buku yang judulnya: Komik Medan, Sejarah Perkembangan Cerita Bergambar di Indonesia (2015) dan Taguan Hardjo: Langsung dari dalam Hati (2016).

Pria ini juga Mendirikan “Si Bangoen Society” bersama repatrian Suriname yang juga komikus Medan, E Bismo Hardjo. Hendri tercatat sebagai pengurus di Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing (PIDM) di Medan. Aktif di Forum Cergam dan meneliti komik di Pusat Kajian Naratif Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta.

Kepada Mistar, saat ditemui pekan lalu, Koko Hendri Lubis, menuturkan perjalanannya sampai menjadi penulis hingga telah meluncurkan 10 buku dari tahun 2014 sampai 2019.

Hendri bercerita, sejak dirinya masih duduk di bangku SMP, dia sangat gemar membaca buku. Awalnya dia membaca buku Siti Nurbaya terbitan Balai Pustaka. Dia jatuh cinta terhadap cerita yang mengisahkan kawin paksa dalam buku tersebut. Hendri membelinya di Titi Gantung, Stasiun Kereta Api Medan.

“Orangtua saya hanya PNS biasa. Kalau dikasih uang, lalu saya belikan buku karena hobi membaca. Menulis merupakan rutinitas bagi saya. Walaupun dunia runtuh, saya tetap akan menulis karena sudah mendarah daging,” katanya.

Kegemarannya membaca akhirnya dituangkan Hendri dengan menulis cerita
pendek. Mulanya hanya untuk kalangan terbatas di Majalah Dinding Perguruan Nasional Khalsa Medan.

Seiring perjalanan waktu, kegiatannya menulis akhirnya ditekuni Hendri secara serius. Saat itu Hendri tinggal di Kota Bandung, Jawa Barat. Di kota ini, dirinya sangat antusias mencari buku-buku lama. Sebut saja komik sejarah, novel dan cerita silat terjemahan OKT dan OPA. Buku-buku itu menjadi incarannya di pasar-pasar loak di Kota Bandung.

Di Kota Bandung, kemampuan pria ini dalam bidang tulis menulis makin terasah. Bahkan tulisannya dimuat di beberapa surat kabar lokal di sana.

Sayangnya, dokumentasinya hilang karena saat itu sistim penyimpanan naskah-naskahnya masih manual, bukan seperti sekarang yang sudah serba canggih.

Setelah menetap di Kota Medan di tahun 2005, Koko Hendri Lubis mulai aktif menulis artikel tentang komik budaya lama dan dimuat di Harian Waspada.

Seiring berjalanya waktu karirnya dalam menulis semakin terasah. Hendri menimba ilmu hingga ke Benua Asia, bahkan Benua Eropa, seperti Jerman, Belgia, Perancis dan Belanda.

Pada 2017, dia mengikuti Program Residensi Penulis dari Kemendikbud ke Negeri Belanda. Di Roterdam Belanda, Hendri menekuni genre tulisan roman. Hasilnya, terbitlah sebuah karya yang diberinya judul “Roman Medan”.

“Saya sudah keliling Eropa, juga Asia. Seperti Jerman, Belgia, Perancis, Malaysia, Singapura dan lain-lain. Contohnya di Kota Roterdam Belanda. Di kota ini, yang didiskusikan soal Komik Medan. Sejarah perkembangan cerita bergambar di Indonesia sangat antusiasi dipelajari oleh orang Belanda, lantaran komikus dulunya sekolah di Eropa sehingga ceritanya tak kalah dengan mereka”.

“Hanya saja kita kalah dengan mutu dan kualitas kertas, tapi kalau gambar masih berani tanding,” kata pria kelahiran Medan 42 tahun silam itu kepada Mistar, di Kampus Unimed Medan.

Dikatakan Hendri, Komik Medan menceritakan tentang Indonesia seperti sejarah Minang dan Tapanuli. Komik Medan, adanya dari tahun 1964 sampai 1965. Sejak adanya pemberontakan di tahun 1965, Komik Medan tidak pernah lagi ditemukan lantaran sulitnya mencari kertas yang menjadi bahan baku.

Menurut Hendri, untuk menulis satu buku hingga diterbitkan, sangat membutuhkan waktu cukup lama. Jika bentuk tulisan itu karangan berbentuk fiksi, bisa saja memakan waktu hingga satu tahun.

Namun jika bentuk tulisan itu fakta atau non fiksi, bisa sampai lebih satu atau dua tahun. Bahkan bisa 10 tahun karena harus ada narusumber. Sulitnya mencari narasumber agar tulisan itu menjadi fakta dan bukan fiksi menjadi penyebabnya.

Dari tahun 2014 hingga 2019, Koko Hendri Lubis mengaku, sudah menerbitkan 10 buah buku. Kadang dia mengambil tulisan di media cetak dimana bagi pembaca lain tidak menarik, namun baginya tulisan itu sangat menarik dan inspirasi tulisannya dalam bentuk cerpen.

Total buku yang ditulisnya saat ini sudah mencapai 10 buku. Salah satunya Roman Medan, yang ditulis pada 2018 dan yang terakhir yang akan diluncurkan pada Desember 2019. Judulnya, “Musim Baru di Suriname”.

Reporter: Hendra Tanjung
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles