7.8 C
New York
Friday, April 19, 2024

Review Film: House of Gucci

MISTAR.ID-House of Gucci tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Tidak ada yang spesial dalam film ini selain kemampuan akting Lady Gaga yang semakin membaik dan aksi Jared Leto yang ikonis.

Cerita House of Gucci cenderung terlalu hambar tanpa ada eksplorasi emosi yang lebih mendalam selain dari apa yang sudah ditampilkan oleh Lady Gaga sebagai Patrizia Reggiani.

Gaga tampil dengan karakter yang kuat. Ia dengan luwes menampilkan akar budaya Italia yang ia punya sebagai modal menampilkan perempuan berkeinginan kuat dan ambisius pada sosok Patrizia.

Baca Juga:Arawinda Kirana Sabet Penghargaan Film di Arab Saudi

Meski begitu, Gaga tidak lantas menjadikan karakter Patrizia menjadi terlalu serius. Sarkasme dan humor ringan khas Lady Gaga tetap dipertahankan olehnya dan Becky Johnston juga Roberto Bentivegna, penulis naskah House of Gucci.

Sementara itu, terlepas kritikan yang datang dari pihak keluarga soal penampilan Paolo Gucci, performa Jared Leto memerankan sosok anggota keluarga yang stres karena dipandang sebelah mata ini terbilang apik dan ikonis.

Riasan prostetik yang dikenakan Jared Leto nyaris membuat dirinya tak dikenali, kecuali dari matanya yang khas. Apalagi dengan akses ‘sok’ Italia, Jared Leto sesungguhnya hiburan dalam film datar ini, apalagi ketika masuk adegan “father, son, and house of Gucci”.

Salah satu karakter utama dalam film ini, Adam Driver yang berperan sebagai Maurizio Gucci, adalah yang paling tidak menarik sepanjang House of Gucci. Yakinlah, bila tidak ada Lady Gaga dan Jared Leto dan hanya ada Driver, film ini bisa membuat Anda tertidur sejak awal.

Baca Juga:Film No Way Home

Adam Driver tampaknya mulai harus melihat penampilannya sendiri di layar lebar agar bisa memperbaiki penampilan di proyek lainnya. Tidak ada yang salah dengan menilai diri sendiri sebagai usaha menjadi lebih baik.

Selain dari penampilan Adam Driver dan pemain lainnya yang “biasa saja” kecuali Lady Gaga dan Jared Leto, hal yang membuat film ini menjadi tak berkesan adalah cara ceritanya dieksekusi.

House of Gucci memang film yang diangkat dari kisah nyata, terutama soal pembunuhan Maurizio Gucci pada 1995. Namun yang menjadi sorotan utama dan mendominasi dalam film ini justru perebutan kekuasaan juga warisan dalam keluarga Gucci.

Ketika adegan pembunuhan itu terjadi, terasa “ya sudah”. Terjadi begitu saja, tidak ada eksplorasi emosi dan cerita. Semua berjalan begitu saja. Jangankan meninggalkan kesan dalam benak, terenyuh pun tidak.

Rasanya Ridley Scott, yang bertindak sebagai sutradara dan salah satu produser film ini, terlalu fokus mengurusi pemain yang terlalu banyak diisi aktor papan atas alih-alih mempersiapkan sebuah naskah yang apik dan dramatis, seperti selayaknya cita rasa seni akting Italia.

Baca Juga:Ralph Fiennes Bintangi Film Ketiga “Kingsman”

Padahal, kisah pembunuhan seorang tokoh sebesar pemimpin Gucci bisa menjadi kisah yang epik. Seperti ketika kisah pembunuhan Gianni Versace yang diangkat menjadi serial televisi terbatas, itu terasa begitu berkelas.

Saya masih ingat ketika The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story tayang. Emosinya begitu nyata, tragedinya begitu tragis, dan keterlibatan emosi antar pemainnya mulai dari kejadian hingga kronologi sebelum dan sesudahnya bisa dirasakan hingga ke luar layar kaca. Padahal saya hanya menyaksikannya lewat ponsel.

Terlepas dari persoalan faktual dalam drama kriminal macam House of Gucci dan Versace, rasanya sebagian besar penonton yang memilih menonton sudah sadar bahwa ini adalah produk hiburan. Dan sudah selayaknya mereka terhibur dari drama tersebut.

Nyatanya, House of Gucci lebih memilih menggarap cerita secara kronologis dan sedatar mungkin, seolah tidak bebas dalam berkreasi dan mengembangkan gagasan cerita. Hal ini yang mungkin menjadi kendala Scott, Johnston, dan Bentivegna membuat emosi penonton larut dalam cerita tersebut.

Ketiganya juga terlihat hanya mengandalkan bumbu-bumbu asmara dari cerita Patrizia dan Maurizio. Itu pun terasa canggung dan terlihat hanya mengandalkan kedekatan secara fisik dan visual semata.

Hal ini berbeda jauh ketika Gaga beradu peran dengan Bradley Cooper dalam A Star Is Born. Emosi, asmara, gairah, cinta, semua terasa nyata. Maka tidaklah heran, banyak yang menganggap keduanya sungguh-sungguh terlibat asmara di luar kamera.

Entah apa yang terjadi dengan House of Gucci. Apakah pelaksanaannya yang bertepatan dengan pandemi sehingga hasilnya kurang maksimal? Tak ada yang tahu selain tim produksinya sendiri.

Namun mengingat film ini sudah dikonsep sejak 2006 dengan gonta-ganti komando sutradara juga pemeran utama, rasanya amat disayangkan bila House of Gucci pada akhirnya cuma jadi pengisi daftar film yang tayang pada 2021.(cnnindonesia.com/hm01)

Related Articles

Latest Articles