7.3 C
New York
Friday, March 29, 2024

Di Temaramnya Sudut Terminal Parluasan

Oleh: Rika Yoesz

Ada apa denganmu Marta? Perempuan setengah baya yang selalu menghabiskan malam di sini. Di sebuah lapo tuak yang tak jauh dari terminal Parluasan.

Lelaki yang duduk di sudut kanan dekat penjual di lapo tuak parluasan itu memperhatikan dengan seksama. Ia sering melihat Marta bersama temannya di sini. Tapi kali ini ia berbeda, Marta tengah sendiri di Mejanya dan meneguk minumannya sudah terlalu banyak.

Marta memang terlihat sempoyongan. Bahkan untuk mengangkat kepalanya saja ia tak mampu. Ia memanggil manggil pelayan lapo untuk menambahkan tuak di gelasnya.

Si pelayan datang mendekat seraya membawa tuak yang diminta Marta.

“Inang, cukuplah. Terlalu banyak Inang minum malam ini, inang sudah mabuk” ujar si pelayan.

“Akhhh… tau apa kau, tuang, tuang. Ini hidupku, tak perlu kau nasehati aku. Anak ingusan seperti kalian tidak pernah tahu masalah orang tua,” ujar Marta kesal. Tangannya yg lemah masih merampas tuak dari tangan pelayan.

Pelayan itu berjongkok, berusaha melunakan hati Marta.

“Maaf inang. Inang punya masalah apa? ceritalah. Mungkin ini bisa melegakan gundah hati inang,”

Marta justru menangis. Tangisnya terdengar kuat, hingga semua yang ada di lapo tuak melupakan keasikannya sejenak. Yang bergitar menghentikan gitarnya, yang bernyanyi menghentikan nyanyiannya, bahkan yg berjoget pun ikut berhenti karena joget terasa garing tanpa musik dan lagu.

“Kau tahu kan, aku kerja banting tulang, dari pagi hingga ke pagi, malam entah tidur di mana, siang entah makan apa…”

Laki laki di sudut lapo dengan topi dan kaca mata tebalnya menatap dengan sinis, bibirnya ikut tersenyum sempit di ujung bibir.

“Kau tahu untuk siapa? untuk anakku, untuk boruku, untuk mereka hasianku. Tapi mereka tak tahu yang aku perjuangkan itu, mereka hanya menuntut,” oceh Marta lagi.

Marta kembali menangis. Tapi kali ini suara gitar sudah kembali berisik, suara cempreng menyanyikan lagu sudah bersautan, dan yang joget kian menggila.

Huh! ada apa dengan hari ini. Kenapa semua seperti tengah mengungkapkan lukanya dengan cara yang berbeda.

Marta menarik nafas beratnya. Andai suaminya tak menghilang dan lari dari tanggung jawab, menafkahi keluarga dengan baik. Tak mungkin ia ada ditempat ini. Andai disuruh untuk memilih, ia lebih baik di rumah mendekap malam bersama buah hati. Tak perlu membelah malam hanya untuk menikmati sepoi angin. Atau berembun menunggu fajar dan berjibaku dengan barang dagangan. Atau bahkan ikut bergelayut menikmati deru truk membawa barang dagangan.

Lapok tuak tempat orang mangkal siapa saja. Selain menjadi bascam para copet dan preman Parluasan, tempat ini juga sebagai mangkal para pedagang yg menunggu barang kiriman dari luar kota, seperti bawang, cabe, tomat, yang akan dikirimkannya pula ke Pekanbaru dan daerah lainnya. Para intel pun mungkin tak ketinggalan ikut di sini.

Marta menangis lagi, tapi kali ini lebih kuat. Sayang, orang-orang sudah tak perduli dengan kepedihan hatinya. Mungkin, yah mungkin orang-orang sudah terbiasa dengan masalah yang dihadapi Marta. Atau mungkin juga masalah Marta belum ada apa apanya dibandingkan dengan masalah yang dihadapi orang orang di sini.

Benar saja, laki-laki bertopi di sudut lapo tua yang sedari tadi hanya diam mengamati kini mulai ikut bersuara. Ia bernyanyi mengikuti lagu yang dimainkan si pembawa gitar.

“Mauliate ma inang, mauliate ma amang, Di sude pambahenanmi, Anggiat ma nian marparbue i…”

Suara lelaki itu kuat sekali, mukanya sampai memerah menyanyikan lagu itu. Ia memang sengaja mengeluarkan suara yang kuat mengalahkan tangis Marta.

Tangis Marta akhirnya memang berhenti, ia terpesona dengan lagu yang dinyanyikan laki laki itu meski nadanya tak menarik, tapi syairnya membuat ia terpukul sendiri.

Terimakasih ibu
Terimakasih ayah
Kalian benar-benar
Ahli kebaikan
Dalam kehidupan anak-anakmu

“Jadi inang, tak usah kau menangis, karna kita memang pejuang bagi anak anak. Biar nanti mereka akan melihat sendiri bahwa yang kita lakukan untuk mereka,” ujar laki-laki itu.

Tapi Marta tahu, laki-laki itu juga tengah menangis. Ada air mata yang ia sembunyikan di sudut matanya.

Benar, laki-laki ini tengah menjerit sakit. Hari ini ia pun meluapkan pedihnya.

Ketidakberdayaan terkadang hadir. Perasaan malu karena tak mampu memenuhi kehidupan keluarga. Padahal ia kepala keluarga. Orang di luar sana tahu ia punya jabatan di kantor Wali Kota. Andai orang tahu saat ini bahwa ia tak mampu menguliahkan anaknya, mungkin orang akan tertawa. Bah, membandingkan ia dengan rekannya yang hidup mewah. Aghhh… apa ia harus merampok juga?

Berdebat berat pada keadaan yang tak mampu dilawan hanya akan membuat lelah. Apa boleh buat, harus ada yang kalah. Dan hari ini dia mengaku kalah. Tak ada negosiasi dengan keadaan.

Laki laki itu bernyanyi lagi, lepas rasanya malam ini ia tuntaskan jeritan hati. Tangisan Marta yang ia lihat malam ini seolah mengikis kegelisahannya. Tuhan ternyata juga memberikan luka pada banyak versi yang berbeda.

Kali ini Marta pun ikut bernyanyi. yah, kenapa harus menangis. Biarlah gunda dilepaskan pada angin malam ini, sampai hujan ikut membersihkannya.

*PS/23-08-21

Related Articles

Penjara

Sepayung Satu Tujuan

Latest Articles