7.8 C
New York
Friday, April 19, 2024

Ayah, Corona Memisahkan Kita

Oleh: Rika Yoesz

Ayah, waktu itu aku masih ingat gelak canda kita di teras rumah tentang aku yang takut dengan gelap. Tentang adik yang lari ketakutan kala ditaksir oleh cowok sebelah rumah yang nekat ngapel di malam Minggu. Juga ketakutan mama kalau anaknya nikah muda.

Tapi waktu itu yang menyentuhku adalah tentang ketakutan ayah yang diceritakan ibu pada waktu aku masih kecil. Menurut ibu, waktu kecil aku adalah anak yang penyakitan. Setiap bulan, rumah sakit menjadi langgananku untuk berobat. Beberapa kali aku pernah step akibat panas yang tinggi. Makanya, Ibu tidak pernah memberitahu Ayah jika aku sedang sakit.

Pernah suatu ketika Ayah tugas luar kota yang harus menginap beberapa lama. Aku sakit dan harus opname di rumah sakit. Namun ibu sengaja tidak memberitahukan agar Ayah tidak merasa khawatir. Tetapi Ayah justru tahu khabar aku dari orang lain. Kontan Ayah pulang tanpa permisi. Perasaannya yang galau sampai ia lupa bawa apa-apa sampai lupa bawa ongkos pulang.

Cerita itu memang mengundang tawa kami sampai tengah malam, tapi dari itu aku tahu Ayah begitu menyayangiku. Jadi tak heran jika aku pernah kena marah sama ayah ketika aku ikut tawuran. Pelipisku kena lemparan batu kerikil hingga mengeluarkan darah yang lumayan. Sampai di rumah sakit aku malah kena marah sama Ayah.

Yang terakhir aku kena marah ketika pulang larut malam. Padahal waktu itu isu Corona sedang merebaknya. Aku memang mencuri-curi waktu, bahkan nekat berbohong pada Ibu. Tetapi rupanya aku kepergok sama Ayah saat melompat pagar.

Aku terdiam tunduk tak berani metapanya, ia memang tidak marah, tidak berang seperti yang pernah dilakukannya jika aku bandel, tetapi kalimatnya membuat aku tahu itu adalah kemarahannya yang paling puncak.

“Aku memang tidak berhak lagi dengan hidupmu setelah kau dewasa. Tapi setidaknya kau masih bisa menghargai hidupmu agar kau bisa ikut menyelamatkan kami kelak,” Ayah lantas meninggalkanku.

Aku terdiam, kalimatnya penuh makna. Dan sejak itu Ayah menunjukan sikap protesnya, diam. Aku tak berani menegur Ayah dengan sikap diamnya itu, karena aku sadar sedang bersalah. Lebih lagi setelah itu aku sakit, demam tinggi. Aku berobat sendiri, melakukan rapid test sendiri. Hingga melakukan isolasi mandiri. Yah… aku mulai rapuh, takut penyakit mematikan itu ikut menyerangku. Bagaimana bisa aku melindungi keluargaku jika begini ?

Ibu akhirnya tahu keadaanku, kuceritakan bahwa aku harus melakukan isolasi mandiri khawatir Covid menyerangku. Tapi kabar ibu tiba-tiba menghenykku, bahwa Ayah dalam kondisi yang sama. Bahkan saat ini ayah sudah berstatus PDP dan tengah menunggu hasil swab.

Aku terduduk, lututku tiba-tiba terasa lemas. Aku menyesal telah membawa virus ke rumah ini. Tak sadar aku memukul dinding kamarku.

“Belum tentu karenamu, nak,” ujar ibu.

Tetap saja aku tidak tenang. Aku ingin melihat Ayah, aku ingin bertemu dengannya, meminta maaf darinya. Jangan-jangan ayah terpapar dariku.

“Karena sebelum ini pun Ayahmu sedang dalam perjalanan dinas ke luar kota. Kita berdo’a saja Allah menjaganya,” ujar Ibu menenangkanku.

Dan hari yang paling menyedihkan itu tiba, Ayah dinyatakan PDP. Gejala yang dimiliki Ayah menunjukan bahwa Ayah terkena Covid-19, Tenggorokannya diserang dan sesak nafas. Satu minggu tak lama setelah ayah dinyatakan PDP ia dipanggil yang maha pencipta.

Ayah… Covid telah memanggilmu begitu cepat. Dan yang paling menyakitkan adalah aku tidak bisa melihatmu bahkan saat saat terakhir. Jangankan melihatmu, melaksanakan fardu kifayah dan menyolatkanmu pun aku tidak bisa melakukannya. Sampai di situ, jeritku terasa habis ditelah bumi dalam ketidak berdayaan ini. Ayah… Maafkan aku.

Related Articles

Latest Articles