10.6 C
New York
Thursday, April 18, 2024

Ketoprak DOR, Lahir dari Kesunyian

Siantar | MISTAR.ID – Ini adalah kesenian asli Sumatera walau memakai nama ketoprak. Di daerah asalnya, Jawa, ketoprak model beginian tidak ditemukan. Modelnya memang mirip dengan kesenian ketoprak di Jawa tapi banyak yang dimodifikasi, untuk menyesuaikan dengan situasi lokal Sumatera.

Namanya Ketoprak Dor, sebuah kesenian pertunjukan masyarakat Jawa yang ada di Sumatera Utara. Dulu kabarnya, grup-grup kesenian ini banyak tersebar di komunitas Jawa Sumatera. Namun kini kelompok kesenian Ketoprak Dor bisa dihitung dengan jari.
Dalam tulisannya di steemit.com, Sayudi San menulis ketoprak dor merupakan salah satu kesenian teater yang hidup dan berkembang di wilayah Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara). Kesenian tersebut diperkirakan telah ada sejak sekitar tahun 1930-an dengan wilayah persebaran awal di Kabupaten Simalungun, Pematangsiantar, Sumatra Utara.

Kemunculan ketoprak dor bermula dari dikirimnya orang-orang Jawa oleh VOC sebagai kuli kontrak perkebunan teh di Sumatera. Transmigrasi besar-besaran yang dilakukan secara tidak langsung membentuk suatu lapisan masyarakat baru dengan diikuti pertumbuhan sosial dan kultur masyarakat yang ada.

Menurut Rizaldi Siagian, seni pertunjukan rakyat yang unik dan tampil dengan gaya opera ini menjadi bagian dari sejarah kuli kontrak di tanah Deli. Ia lahir di tengah-tengah situasi perbudakan paling buruk dalam sejarah Asia Tenggara. Dampak psikologisnya masih tersisa, dan sampai saat ini masih membuat para pelaku kesenian ini terkesan rendah diri dan merasa terlantar.

Dalam catatannya, ketoprak dor lahir dari situasi tekanan luar biasa yang dilakukan kolonial Belanda. Di tengah-tengah situasi itu, naluri untuk bertahan melalui seni muncul. Gending-gending yang masih mereka ingat dari kampung mereka mainkan dengan menggunakan alat musik Melayu, harmonium, alat musik sejenis akordion, ‘jidor’ atau ‘tektekdor’, yaitu gendang sejenis tambur yang dilengkapi kentongan (slitdrum) berukuran kecil, dan kendang Jawa yang biasa dipakai mengiring wayang.

Para kuli tak mungkin berharap ada gamelan tersedia, apalagi mengharap pendopo megah berlantai marmer, adem, dan angin yang berhembus semilir, seperti di Jawa. Diluar sana, di lahan buka kebun, hanya ada alas: hutan belantara yang digambarkan melalui pewayangan sebagai tempat yang “pekat dan ganas,” tempat dimana segala yang buas, jin, dan konsep kejahatan bersembunyi, atau sebaliknya, garing setelah “babat alas” dilakukan dengan tunggul tegakan yang terbakar dan harus dicangkul dengan tehnik membalik tanah yang terkenal dikuasai orang-orang Banyumas itu.

Oleh karena imigran Jawa ini bukanlah praktisi atau pelaku seni ketoprak, maka ketoprak yang mereka sajikan hanya didasarkan atas interpretasi yang mungkin begitu terbatas atau tidak sesuai dengan konvensi yang ada di Jawa. Meski demikian, beberapa hal pendukung di dalam pertunjukan ketoprak masih membalut ketoprak yang telah dikreasikan, antara lain : lakon atau cerita yang diangkat, bentuk dialog, dan aspek visual seperti penggunaan gerak (tarian) sebagaimana joget gendro yang biasa disajikan ketika tokoh atau pemain ketoprak di Jawa memasuki panggung (arena).

Namun dari segi artistik, bentuk ketoprak ini tampil seadanya, sehingga terkesan kedodoran. Kesan kedodoran inilah yang menjadikan bentuk ketoprak baru sehingga bernama ketoprak dor.

Seiring perkembangan, dalam kurun waktu puluhan tahun ketoprak dor tidak hanya diminati orang-orang Jawa, tetapi juga etnis lain seperti Batak, Melayu, Cina, India, dan sebagainya. Terlebih pasca-Indonesia merdeka, kala praktik kuli kontrak dihapuskan dan masyarakat Jawa yang berkumpul menjadi satu komunitas mulai menyebar di berbagai daerah.

Akulturasi budaya tampak karena campuran dialek bahasa Jawa terjadi misalnya antara dialek bahasa Tegal dan bahasa Surabaya dengan bahasa Jawa Tengah umumnya. Ketoprak dor juga menggunakan bahasa Jawa yang bercampur dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Melayu. Jadi tidak heran jika kata-kata “alamak jang” atau “iya pula” dalam komunikasi antara pemain. Bahkan istilah atau kata-kata bahasa Batak juga muncul.

Reporter: Edrin
Editor: Edrinsyah

Related Articles

Latest Articles