6.6 C
New York
Friday, March 29, 2024

Gerundelan Rakyat Ala Ketoprak DOR Oleh : J Anto

Gerundelan Rakyat Ala Ketoprak DOR
Oleh : J Anto

Menonton pertunjukan Ketoprak DOR adalah mendengar udar rasa orang-orang kecil. Para pelakon sejatinya tengah mementaskan lakon hidup sendiri, diselingi tembang, tari, dan dagelan sebagai pelipur. Sebuah kesenian rakyat untuk pembebasan diri?

Paripurna sudah nasib Joko Bodo. Sudah wajahnya ‘elek koyo tembelek’ (jelek karena hitam seperti tahi ayam), sekolah pun tidak. Maka jadilah ia pemuda desa pengangguran. Ehh konon pula ia mau merantau ke kota. Mau cari pekerjaan. Katanya biar hidupnya berubah. Di desa tidak ada apa-apa. Bapak ibunya tentu saja tak setuju. Selain karena Joko Bodo memang ‘bodo’, bapaknya juga khawatir.

“Orang yang pinter, sekolahnya tinggi dan hebat saja bisa terjerumus….. lha kamu yang bodo, tak sekolah mau cari kerja di kota.”

Sindiran menohok. Tak terlalu susah menebak ke arah mana kritik ditembakkan Suriat, pemain kawakan Ketoprak DOR, yang kali ini berperan sebagai bapak Joko Bodo. Dewasa ini banyak orang terdidik lagi terhormat, namun episode hidup mereka berakhir secara tak terhormat. Lakon hidup orang-orang seperti ini, terus mengisi narasi sejarah negara ini. Mulai dari yang terjerumus korupsi, narkoba sampai skandal seks.

Tetap Satiris

Minggu malam, warga Medan beruntung mendapat tontonan dari seniman rakyat yang tergabung dalam Ketoprak DOR Langen JeDe Rahayu. Gabungan 10 seniman dari beberapa grup Ketoprak DOR Tanjung Mulia dan Binjai yang masih eksis walau status mereka ‘cengap-cengap’. Tampil pamungkas untuk memeringati acara HUT Kota Medan ke – 428 yang diadakan di Merdeka Walk, Lapangan Merdeka, Medan, rombongan sandiwara rakyat Jawa Deli ini mampu menghibur penonton yang tengah bersosialita di salah satu pusat kuliner Medan itu.

Kisah Joko Bodo atau Joko Lelono malam itu sebenarnya bukan lakon baru. Ini sejenis cerita rakyat populer seperti Malin Kundang. Anak durhaka yang dikutuk ibunya karena tak lagi mengakui ibunya saat sudah jadi ‘orang’. Bedanya di tangan para seniman rakyat Jadel, kisah itu dibungkus penuh banyolan, satiris, walau terkadang sedikit konyol karena masih terselip adegan ketok kepala ala grup lawak Srimulat.

Saat ‘Akal’ Mengakali ‘Okol’

Saat adegan Joko Bodo dikerjain dua orang kota yang berpendidikan gara-gara wajahnya yang buruk dan statusnya yang tak bersekolah namun nekad minta kerja, ia lalu mengeluarkan ‘ilmu simpanannya” yang bertumpu pada ‘okol’ bukan ‘akal’.
Kalah adu kepintaran, ia pun ditantang berkelahi satu lawan satu. Joko Bodo menang, ia menjadikan dua orang kota itu lawakan dengan memanfaatkan ‘ekornya’ untuk menggetok kepala lawan. Namun ‘akal’ kembali mengalahkan ‘okol’ saat dua orang bersekongkol melawan Joko Bodo. Betapa mudahnya sebuah janji dicederai oleh orang-orang ‘terdidik’ itu.

Joko Bodo lalu diikat dan ditinggal pergi. Untuk melepaskan ikatan, Joko Bodo, turun dari panggung, berlari ke arah penonton. Minta bantuan penonton melepaskan ikatan. Penonton tertawa. Tapi inilah simbol, saat orang kecil jadi ‘korban’ ia pun memilih ‘orang kecil’ untuk membantunya.

Pada adegan lain, sampailah Joko Bodo di Istana. Ia bertemu Raja, Patih dan puteri Raja. Kepada Patih, Joko Bodo kembali mengutarakan maksud kedatangannya, meminta pekerjaan. Joko Bodo tak tahu bahwa Raja sedang membuat sandiwara penting. Barang siapa yang mampu mengalahkan kehebatan ilmu kanuragan Sang Patih, orang itu akan dijadikan suami puteri raja sekaligus menggantikan singgasananya.

Raja lalu memintanya agar ikut sayembara. Joko Bodo bersedia. Ia kembali mengeluarkan kemampuan okolnya, ternyata Sang Patih kalah. Raja menepati janjinya menikahkan puterinya dengan Joko Bodo. Bahkan kemudian menyerahkan tahtanya dengan memakaikan baju raja kepada Joko Bodo yang langsung berubah ganteng saat baju kebesaran itu dikenakan.

Sebuah pesan cerdas kembali dilontarkan para pemain Ketoprak DOR Langen Jede Rahayu: kekuasaan mampu menyulap citra orang untuk jadi apa saja. Seperti dalam kontestasi politik, dalam sekejap seorang penguasa korup bisa diubah citranya menjadi “santun” “dermawan” atau “alim” sekaligus.

Sebuah pesan agar penguasa tak melupakan asal-usulnya juga diwariskan sebelum sang raja tua sebelum meninggalkan tahtanya:

“Setelah dilantik jadi raja, ingatlah kamu akan asal-usulmu sebagai rakyat biasa. Kamu jangan pernah melupakan mereka.”

Kekuasan Okol pun Bisa Menindas

Tapi ibarat lakon wayang kulit ‘Petruk Dadi Ratu’, Joko Bodo atau Joko Lelono ini lupa daratan. Ia bak “kere munggah bale”. Tak lagi ingat statusnya sebagai ‘wong cilik’, rahim darimana ia berasal. Kekuasaan memang bisa jadi candu saat digenggam terlalu keras. Tak peduli siapa orangnya. Entah yang disebut ‘orang berakal’ atau ‘orang berokol’. Keduanya punya pontensi untuk menyelewengkan.

Bahkan saat ‘pemilik rahim’ itu sendiri datang dan hendak mengingatkan penyelewengan itu. Yang terjadi kekuasaan malah digunakan untuk menindas secara membabi buta.
Bagaimana kekuasaan zalim seperti itu harus diakhiri?

Karena lakon ketoprak DOR berkutat seputar cerita rakyat populer, legenda, bahkan mitologi, pakem akhir cerita pun sudah ‘baku’. Kutuk dari pemilik rahim, seperti juga terdapat dalam cerita Malin Kundang lalu terlontar. Penguasa yang lalim pun membeku jadi batu. Hanya air mata murni dan permintaan tulus permaisuri yang akhirnya meluluhkan hati seorang ibu untuk menarik kembali kutuknya.

Kesenian Rakyat Sarat Jeritan Sosial

Sebagai grup teater yang lahir dari rahim para kuli kontrak asal Jawa yang bekerja di perkebunan Sumater Timur, ketoprak DOR memang bukan sekadar media pertunjukan seni semata. Rizaldi Siagian menyebut seni pertunjukan rakyat yang tampil dengan gaya opera ini sebagai kesenian yang mengungkapkan jeritan sosial melalui nyanyian, dialog, dan gerak tarian.

Namun pentas ketoprak DOR bukan sekedar ‘corong’ udar rasa rakyat biasa, ia juga sebuah hiburan rakyat, bahkan sebuah tuntunan. Selalu ada pesan moral yang disampaikan dalam setiap lakon yang dipentaskan. Sunardi dan Waris, maskot pelawak ketoprak DOR memberi contoh lakon Joko Bodo tadi. Lewat kisah tersebut, seseorang yang diberi mandat menjadi penguasa, tak boleh melupakan darimana mandat itu berasal.
Sebagai seni pertunjukan bernuansa opera, ketoprak DOR juga menghadirkan banyak dramaturgi yang mampu mengharu biru penonton.

“Pada saat tertentu penonton bisa hanyut menangis, namun satu menit kemudian mereka bisa tertawa,” ujar Triwahjuono Harijadi atau Yono USU, relawan pendamping komunitas budaya masyarakat Jawa Deli (JeDe). Tawa tak hanya terbangun saat pasangan suami isteri Sunardi – Waris, mengocok perut penonton lewat guyonan atau gerak tubuh lucu, tapi juga lewat dialek kebatakan – kekaroan dan kemelayuan Sunardi yang Jadel. Atau juga lewat senandung Melayu namun liriknya bercampur bahasa Jawa: “lirikan mripatmu…..”

Begitulah Ketoprak DOR adalah sebuah daya hidup orang-orang biasa yang diekspresikan lewat sebuah cara berkesenian yang mereka pahami. Seperti kesenian pertunjukan rakyat lainnya di Sumatera Utara, misalnya Opera Batak, sejak tahun 1970-an, keberadaan mereka oleh kini terpinggirkan.

Daya hidup mereka makin tergerus. Namun bukan berarti mereka sudah menyerah. Sejak 1992, usaha untuk merawat dan meruwat kesenian rakyat ini terus dilakukan, salah satunya dilakukan seniman Yono USU, penggiat Komunitas Seni(man) JeDe. Pentas Joko Bodo di Merdeka Walk, bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Sumut, adalah salah satunya. Dan kita percaya ini bukan yang pertama untuk seterusnya. Sekalipun penyair Rendra pernah berpesan agar seniman tak menggantungkan diri pada ketiak birokrasi. (*)

Related Articles

Latest Articles