7.5 C
New York
Friday, April 19, 2024

Saat Perda KTR Ancam Pertumbuhan Ekonomi Daerah

MISTAR.ID – Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) berpotensi menghambat ekonomi daerah. Alasannya, Perda tersebut akan membatasi kegiatan ekonomi usaha kecil yang bergerak di industri hasil tembakau (IHT).

“Pelaku usaha tidak alergi dengan regulasi. Namun, regulasinya harus memerhatikan aspek keadilan,” tegas Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia ( AMTI ) Budidoyo Siswoyo, Selasa kemarin.

Dia mengungkapkan, dengan adanya aturan yang melarang untuk memajang produk hasil tembakau, ruang untuk berusaha masyarakat semakin kecil. Seharusnya, kata dia, pemerintah daerah tidak membuat aturan yang bertentangan dengan aturan di atasnya yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. “Sudah ada PP 109 semestinya diselaraskan dengan itu. Jangan membuat regulasi baru yang justru bertolak belakang,”paparnya.

Budidoyo menyarankan, pemerintah daerah bijak dalam menerbitkan regulasi dengan tetap mengedepankan aspek keadilan. “Misalnya ada yang tidak taat aturan ya mereka yang ditindak, jangan semuanya,”ujarnya.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berharap Mahkamah Agung (MA) dapat mengabulkan gugatan pedagang tradisional terhadap Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) Kota Bogor.

“Regulasi di pusat tidak ada pelarangan display produk rokok, yang ada adalah mengatur iklan dan promosi. Ini berbahaya bagi iklim investasi karena akan mengacaukan dunia ndustri dan konsumen,” kata Direktur Eksekutif APINDO, Danang Girindrawardana.

Dampak terbesar yang timbul dari peraturan tersebut akan dirasakan para pedagang kecil dan pengasong eceran yang akan kehilangan pekerjaannya. Gangguan terhadap rantai distribusi juga akan berimbas terhadap keberlangsungan industri dan petani tembakau. Akibatnya, bukan hanya pedagang dan peritel yang terimbas, namun potensi pengurangan tenaga kerja juga akan menimpa industri dan petani tembakau sebagai bagian dari rantai produsen.

Danang menegaskan, pemerintah pusat tidak boleh membiarkan begitu saja keberadaan berbagai aturan di daerah yang bermasalah, termasuk Perda KTR. Pemerintah pusat, kata Danang, harus turun tangan melakukan advokasi ke daerah untuk tidak menghasilkan regulasi yang bertentangan dengan regulasi di atasnya.

Pembiaran terhadap Perda yang melanggar dinilai akan menghilangkan kedaulatan pemerintah pusat, karena seolah mereka kehilangan kewenangan mengontrol pemerintah daerah. “Padahal kita punya sistem ketatanegaraan dimana pemerintah pusat memiliki kewajiban membina pemerintah daerah,” kata Danang.

Kewajiban pembinaan tersebut terletak pada Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pembinaan dilakukan melalui konsultasi atau advokasi terhadap rancangan perda. Rancangan Perda yang tidak sejalan dengan pemerintah pusat semestinya bisa ditolak sejak awal.

Menurut Danang, peraturan yang terlalu segmented di daerah akan membuat iklim usaha tidak sehat. Akibatnya, perkembangan investasi baik yang baru maupun sedang berjalan akan terganggu.

Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership, Yusfitriadi mengatakan pada prinsipnya tujuan regulasi adalah mendorong pemberdayaan dan kemandirian masyarakat, termasuk pedagang kecil menengah dan pedagang tradisional. Tidak hanya pedagang tradisional, Perda KTR juga memberatkan petani tembakau yang selama ini terberdayakan dengan adanya produk-produk hasil tembakau.

Peraturan yang tidak memihak kepada pedagang dan petani dinilai dapat melumpuhkan perekonomian pedagang kecil dan petani tembakau. “Perda KTR tidak seimbang dan tidak pro kepada masyarakat kecil, sehingga banyak yang jadi korban,” ungkap Yusfitriadi.

Judicial Review

Langkah yang dilakukan sejumlah pedagang tradisional wilayah Kota Bogor dalam mengajukan gugatan uji materiil (judicial review) terhadap Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) sudah tepat.

“Berhak untuk mengujinya di MA. Nah pengujiannya akan kelihatan kebijakannya, apakah sudah arif dan adil? Apakah bermanfaat atau nggak? Nanti MA yang akan menilai substansi itu. Daripada berdebat di ruang publik, lebih baik di pengadilan, karena akan lebih terukur. Di tangan ahli, semua akan diukur dalam uji materi itu,” jelas Pengamat Hukum Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf baru-baru ini.

Menurut Asep, Pemerintah Daerah tidak boleh sewenang–wenang untuk menghilangkan hak masyarakatnya untuk beraktivitas ekonomi atau kegiatan usaha. “Ya, itu juga harus diperhatikan. Jangan sampai mengurangi hak untuk berusaha. Kan ada hak juga untuk mendapatkannya di ruang publik,” kata Asep.

Seperti diketahui Perda KTR Kota Bogor menimbulkan reaksi pro dan kontra di masyarakat. Sejak awal pembentukan hingga revisi Raperda, terdapat poin yang bertentangan dengan peraturan di atasnya, yaitu PP 109 Tahun 2012. Bahkan, saat revisi Perda dilakukan, poin krusial seperti larangan pemajangan produk tetap dimuat.

Hal tersebut dinilai banyak pihak mengabaikan kesepakatan penyelesaian sengketa peraturan perundang-undangan (PUU) melalui jalur non litigasi antara Pemkot Bogor dan para pemangku kepentingan industri hasil tembakau.

Sebelumnya, Kemendagri telah menyatakan bahwa kewenangan saat ini ada di DPRD dalam melakukan pengawasan, memperbaiki atau mencabut Perda. DPRD sebagai pembentuk Perda KTR dapat menggunakan fungsi pengawasan pelaksanaan tersebut dan dapat juga melakukan legislative review untuk memperbaiki atau mencabut bersama Pemda.

Sementara untuk Perda provinsi yang telah diundangkan, dapat dilakukan klarifikasi atas permintaan masyarakat. Apabila Raperda atau Raperkada berasal dari kabupaten atau kota, maka fungsi binwas terdapat di Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert NA Endi Jaweng berpendapat, langkah yang dilakukan oleh pedagang tradisional Kota Bogor sudah ideal karena Kementerian sudah tidak punya wewenang untuk mencabut Perda.

“Saya tahu bahwa Pemko Bogor, yang mengeluarkan aturan tersebut, tidak akan mencabutnya. Jadi yang paling masuk akal dilakukan adalah judicial review. Soalnya, ini penting mengingat substansinya adalah kepastian hukum. Kita tidak bicara soal moral, soal setuju atau tidak dengan rokok ya,” ujar Endi.

Endi menambahkan, Perda KTR Kota Bogor tergolong cacat hukum karena bertentangan dengan aturan pusat. Sebelumnya Endi juga telah melakukan kajian mengenai Perda–Perda bermasalah yang menghambat investasi salah satunya Perda KTR.

Sumber: bisnis
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles