14.7 C
New York
Saturday, April 27, 2024

Proyeksi Rasio Utang Pemerintah Diprediksi Naik 37%

Jakarta, MISTAR.ID

Rasio utang pemerintah diprediksi akan meningkat akibat situasi pandemi Covid-19. Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) akan meningkat 7 persen sepanjang tahun ini.

Hal itu disampaikan dalam diskusi virtual bertajuk Rebirthing The Global Economy to Deliver Sustainable Development yang diselenggarakan United Nation, Rabu (1/7/20) malam, saat berbicara mengenai dampak pandemi covid-19 terhadap perekonomian di berbagai negara.

Posisi utang pemerintah per akhir Januari 2020 mencapai Rp4.817,55 triliun. Dengan asumsi PDB per kapita akhir Januari Rp15.944,78, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB menjadi 30,21 persen. Sebagai bendahara negara, Ani, biasa dipanggil juga bercerita soal tekanan terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang mengalami dua kali revisi pada tahun ini.

Baca juga : Klaster Baru Pekerja Tambang Sulawesi Tenggara Laporkan 42 Infeksi Covid-19

“Kita memiliki rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih rendah, yaitu sekitar 30 persen, tetapi segera dalam satu tahun rasio utang terhadap PDB akan berpotensi meningkat hingga 37 persen dari PDB,” ucapnya. Ia mengatakan pada awalnya defisit APBN hanya diproyeksikansebesar 1,7 persen terhadap PDB.

“Anggaran kami tahun ini dirancang untuk 1,7 persen dari defisit PDB, sangat kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia,” terang dia. “Tapi, karena covid-19 sekarang ini, kami segera merevisi anggaran kami dengan defisit hingga 6,3 persen PDB. Peningkatan yang signifikan dan saya yakin semua negara pasti menghadapi situasi yang sama,” jelasnya.

Problemnya bagi negara berkembang, kata Ani, pembiayaan untuk penanganan pandemi covid-19 dan stimulus untuk meredam dampak terhadap perekonomian sangat sulit didapatkan.

Baca juga : Sri Mulyani Buka-bukaan Soal Anggaran Covid-19

Ia menyoroti sejumlah lembaga pembiayaan atau kreditor multilateral yang memberikan utang dengan bunga tinggi kepada negara-negara berkembang di tengah pandemi covid-19. Menurut Ani, keadaan ini menunjukkan masih ada diskriminasi terhadap negara-negara berkembang untuk bisa mengakses pembiayaan yang murah dari lembaga multilateral.

“Ini adalah diskriminasi, dan tidak menciptakan kesempatan yang sama bagi banyak negara untuk dapat mengejar ketinggalan atau untuk mengatasi masalah terkait pandemi ini dengan cara modern yang disebut ‘kualitas yang lebih baik”,” sebut Ani.

Meski demikian, lanjut dia, bukan berarti kreditor multilateral memberikan bunga tinggi kepada negara-negara berkembang. Ia mengatakan banyak pula lembaga yang mendukung negara-negara berkembang dengan utang murah untuk biaya social safety net. Hanya saja karena jumlahnya terbatas, akhirnya banyak negara harus beralih ke alternatif pembiayaan lain mulai dari pasar modal, obligasi dan sebagainya.

“Dalam hal ini saya benar-benar ingin menyatakan penghargaan saya kepada beberapa lembaga multilateral yang merespons dengan menyediakan tidak hanya pembiayaan dan pencairan yang sangat cepat, tetapi juga fokus untuk mendukung negara-negara untuk dapat mengatasi masalah ini,” pungkasnya.(cnn/hm09)

Related Articles

Latest Articles