12.5 C
New York
Saturday, April 20, 2024

Implementasi B30 Berbuah Manis, Harga CPO Sentuh Level Tertinggi

Medan | MISTAR.ID – Percepatan implementasi bauran 30% minyak sawit ke bahan bakar solar (B30) yang dimulai sejak 1 Desember lalu mulai berbuah manis. Saat ini, harga minyak sawit mentah atau CPO di pasar internasional terkerek ke level tertinggi.

Harga CPO kontrak pengiriman Maret 2020 di Bursa Malaysia Derivatif Exchange terapresiasi 0,86% ke level RM 2.948/ton. Angka ini setidaknya merupakan rekor paling tinggi dalam dua tahun terakhir.

Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Timbas Prasad Ginting mengatakan, implementasi B30 memang membuat pasar khawatir akan kekurangan stok. Sebab, pasokan CPO akan banyak terserap di dalam negeri.

“Dalam beberapa bulan ini, harga CPO mulai naik. Terutama pada semester dua,” katanya, Jumat (27/12/19).

Menurutnya, naiknya harga CPO naik dipengaruhi oleh permintaan dalam negeri terhadap produk minyak kelapa sawit dan turunannya yang terus bertambah.

Apalagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta penerapan program B30 dipercepat tahun ini dan B50 pada tahun 2020, sehingga diharapkan dapat memicu bertambahnya serapan produk CPO dalam negeri.

Selain itu, permintaan minyak sawit untuk B30 dalam negeri juga diharapkan bisa menutup kinerja ekspor yang menurun di beberapa pasar dunia.Dengan asumsi kondisi pasar tetap sama dengan sebelumnya, maka penciptaan permintaan baru ini akan membutuhkan penyaluran yang juga besar. “Sehingga pada akhirnya, harga otomatis akan naik,” jelasnya.

Hanya saja, pihaknya menyayangkan reaksi pemerintah yang dinilai lamban dalam implementasi B30 tahun ini. Padahal, sejak lama Gapki telah mendorong pemerintah untuk mempercepat bauran minyak sawit ke solar untuk mengerek harga.

“Sayang memang. Kalau tidak, kan harga CPO tak tertekan seperti yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan,” ungkapnya.

Sebagai catatan, harga CPO di pasar dunia terus mengalami tekanan, bahkan sulit untuk naik. Lesunya ekonomi global menjadi pemicu awal. Banyak negara-negara tujuan ekspor, terutama China, Amerika Serikat, Jepang, India dan negera-negara Eropa memangkas permintaan.

Kondisi ini semakin diperparah dengan kampanye hitam terhadap CPO yang berlangsung di sejumlah negara Eropa. Sawit dituding sebagai produk yang berisiko tinggi terhadap deforestasi. Belum lagi dengan perang dagang antara Amerika dengan China lebih dari setahun terakhir membuat ekonomi global melambat dan rantai pasok global terganggu.

Perang dagang yang terjadi melibatkan serangkaian aksi retaliasi (balas berbalas) pengenaan bea masuk untuk produk impor kedua negara senilai ratusan miliar dolar AS. Perang dagang turut menjadi salah satu faktor yang menggerakkan harga minyak nabati lain yaitu minyak kedelai.

Seperti yang diketahui kedelai merupakan salah satu produk pertanian unggulan AS. Pergerakan harga minyak kedelai akibat perang dagang juga berpengaruh terhadap pergerakan minyak nabati jenis lain. Harga minyak kedelai lemah turut melemahkan minyak nabati lain, terutama CPO.

Di sisi lain, sawit sendiri masih menguasai pangsa ekspor komoditas di Sumut. Sepanjang Januari hingga Oktober 2019, komoditas ini menguasai 36,94% pangsa ekspor dengan nilai US$2,38 miliar. Dominasi komoditas sawit dan turunannya terhadap komoditas ekspor lain cukup signifikan. Pangsa ekspor karet misalnya, yang berada di posisi kedua hanya sebesar 14,12%.

Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin mengungkapkan, kenaikan harga CPO saat ini juga dipengaruhi oleh naiknya harga minyak mentah dunia, yang kini menyentuh level US$61 per barel. “Ada juga potensi kenaikan harga karena meredanya perang dagang. Dengan asumsi, ekonomi global membaik tahun depan,” ungkapnya.

Selain itu, data pasokan CPO Malaysia yang berkurang juga memicu naiknya harga di pasaran. Data tersebut menjadi sentimen jangka pendek yang mengakibatkan harga berfluktuasi merespon dengan kenaikan harga.

Sementara, penerapan B30 di dalam negeri tentu akan mengurangi ketergantungan dari negara lain, yang cenderung berubah-ubah. Indonesia diyakini akan lebih mandiri dalam menentukan harga CPO.

Hanya saja, kebijakan ini bulan tanpa risiko. Ada kelebihan dan kekurangannya. Dari sisi harga keekonomian bahan bakar yang komponen CPO-nya makin banyak, tentunya akan mempengaruhi harga jual bahan bakar di tingkat masyarakat.

Selain itu, ketersediaan CPO tidak merata secara nasional, sehingga membutuhkan distribusi bahan bakar yang lebih rumit dari sebelumnya. “CPO ini kan juga butuh infrastruktur pendukung guna menjaga ketersediaan produksi. Sehingga untuk merealisasikan keberlangsungan produksi pemerintah harus terlibat di dalam,” jelasnya.

Selain itu, produksi biodiesel juga membutuhkan kepastian permintaan dari pemerintah. Sehingga keberlangsung produksi serta kepastian harga dan pembelian juga memiliki urgensi.

“Saya menyimpulkan bahwa, penggunaan CPO sebagai biodiesel ini akan membuat kita lebih mandiri. Perlu didukung, dan masyarakat harus mengentahui plus minus penggunaannya. Khususnya terkait dengan harga biodiesel ke depan,” pungkasnya.

Reporter: Daniel Pekuwali
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles