7.9 C
New York
Friday, April 19, 2024

Webincang Magister Ilmu Hukum UNPAB: Perguruan Tinggi Harus Bebas Predator Seks

Medan, MISTAR.ID

Perguruan Tinggi harus melakukan langkah-langkah strategis untuk menghapus tiga dosa besar pendidikan yang dicanangkan Mendikbud Ristek Dikti Nadiem Makarim, terkait kekerasan seksual, intoleransi dan perundungan (buly) sebagai bagian dari peningkatan mutu Perguruan Tinggi dan Implementasi Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Hal ini disampaikan Ketua Program Studi Magister Hukum Pascasarajana Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAB) Medan Dr T Riza Zarzani dalam sambutanya pada kegiatan Webincang (virtual) dengan topik “Kesiapan Perguruan Tinggi dalam Penanganan tiga Dosa Besar Pendidikan (Kekerasan Seksual, Intoleransi dan Perundungan) dalam siaran persnya, Kamis (16/12/21).

Webincang tersebut menghadirkan narasumber Ratna Batara Munti, sebagai Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional LBH APIK Indonesia, Aprilia Resdini dari Jakarta Feminist/SPACE UNJ, Cahyo Pramono Wakil Rektor UNPAB Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Kepala PPMU UNPAB Hendry Aspand dan Kepala Prodi Ilmu Hukum UNPAB Dr Saiful Asmi Hasibuan.

Baca Juga:Komnas PA: EL Predator Seks Asal Medan Pantas Dikebiri Kimia

Koordinator Advokasi Kebijakan Nasional LBH APIK Indonesia Ratna Batara Munti menyampaikan persetujuan dimana isu consent menjadi unsur penting dalam kekerasan seksual. Jika hubungan seksual atau aktifitas seksual disetujui oleh korban, kata Ratna, itu artinya perbuatan tersebut bukanlah merupakan kekerasan seksual, karena dilandasi “suka sama suka“ dan tidak ada yang menjadi korban dalam kasus ini.

Permendikbud PPKS, lanjutnya, mengatur kekerasan seksual bukan perbuatan seksual, sehingga aneh kalau frasa ”tanpa persetujuan korban” dihapuskan atau dikeluarkan. Itu artinya Permendikbud PPKS tidak lagi mengatur kekerasan seksual tapi mengatur kegiatan seksual.

“Dan yang terakhir ini bukanlah menjadi fokus dan tujuan dari Permendikbud PPKS. Isu consent dalam kekerasan seksual merupakan isu universal, bukan berasal atau milik negara-negara Barat. Karena bicara kekerasan seksual adalah bicara isu kemanusiaan yang melampaui batas-batas wilayah negara dan bangsa,” tegas Ratna Batara Munti.

Baca Juga:Resahkan Warga, LBH Medan Minta Pelaku Predator Anak Segera Ditangkap

Belajar dari Sudan, sambung Ratna, Sudan telah belajar dari kesalahan mereka dan sudah melangkah maju. “Sementara di negeri ini, jika kita membiarkan pengaturan perzinahan mencampuri dan masuk dalam aturan terkait kekerasan seksual seperti di Permendikbud, RUU Penghapusan Kekerasan seksual, bahkan di RUU KUHP (perluasan pasal perzinahan) akan menjadi persoalan,” sebut Ratna.

Aprilia Resdini dari Jakarta Feminis/SPACE UNJ justru melihat, kekerasan seksual adalah perilaku atau pendekatan yang berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan, berbasis gender, dan termotivasi oleh bias gender. Ada dinamika kekuatan yang secara terus menerus mengingatkan akan kerentanan. Elemen dalam kekerasan seksual menurut Aprilia terkait persetujuan, relasi kuasa, kontrol, serangan terhadap integritas atau otonom.

Sementara Rektor 1 Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni UNPAB Cahyo Pramono menyebutkan, data dan contoh kampus perundungan di kampus ada sebanyak 37.381 laporan kasus selama (2020-2021) dan 2.473 terjadi di dunia pendidikan.

Kasus perundungan itu, kata Cahyo, biasanya terjadi dalam masa orientasi mahasiswa, ungkapan seksi, rasis, dan kebercandaan dengan tujuan merendahkan dosen, pemasangan berita palsu dan atau informasi bersifat privasi pada kanal kampus dengan tujuan untuk menyerang orang lain dan ancaman penyebaran foto atau rekaman tertentu.

Baca Juga:Sumatera Darurat Kasus Kekerasan Seksual

Terkait tiga dosa, kata Cahyo, inilah yang menjadi PR Perguruan Tinggi, sehingga perlu memberikan pelayanan terbaik dengan membuat kebijakan atau peraturan yang membuat nyaman para mahasiswa maupun dosen. Terus melakukan sosialisasi ketika mahasiswa dalam menghubungi dosen dengan baik, dan khusus di UNPAB perlu menerapkan budaya tamadun, mandiri, plus sangat ditekankan untuk berorganisasi.

Sedangkan Kepala PPMU UNPAB Assoc Prof Dr Henry Aspan mengatakan, poin penting dalam Kemendikbud Ristek Dikti adalah jenis atau bentuk kekerasan seksual yang belum terakomodir.

Dalam peraturan Kemendikbud, kata Henry Aspan, ada dua bab yang sangat fundamental. Bab dua memaparkan masa pencegahan yaitu adanya unsur penguatan tentang tata kelola yang mewajibkan pembentukan Satgas yang diberi kewenangan otonom atau Satgas sebagai partner.

Baca Juga:Dugaan Pangeran Andrew Akrab dengan Predator Anak

“Artinya kampus wajib membentuk Satgas mengenai pelecehan seksual dan kekerasan seksual berdasarkan Permendikbud melalui kemitraan. Universitas Panca Budi sudah mempunyai kode etik mahasiswa dan dosen, sehingga bisa melakukan terobosan hukum, penemuan hukum,” jelasnya.

Di lain sisi, Kepala Prodi Ilmu Hukum Dr Saiful Amri Hasibuan mengatakan, anak korban seksual harus diberikan jaminan berupa ekonomi, kepastian kekeluargaan, jaminan pendidikan, jaminan kesehatan. “Artinya tidak hanya materi tetapi psikologi,” terangnya. (amsal/hm12)

Related Articles

Latest Articles