9.4 C
New York
Saturday, April 20, 2024

Trend Pelajar Ikut-ikutan Demo, Simak Penjelasan Psikolog ini!

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Fenomena keterlibatan remaja berstatus pelajar dalam sejumlah aksi rusuh di sejumlah daerah menolak UU Cipta Kerja dan Omnibus Law beberapa waktu lalu adalah sesuatu yang tidak lumrah atau tak wajar dimata masyarakat umum.

Ini membuat banyak orang menjadi prihatin. Ironisnya mereka yang ditangkap mayoritas adalah pelajar yang sebetulnya tidak mengetahui perihal undang undang cipta kerja.

Menanggapi hal ini, Konsultan Psikologi di Psychosense Training and Consulting Malang, Jawa Tengah, Daniel Sember S.Psi,Psi, mengatakan, yang namanya manusia itu membutuhkan penerima, pengakuan, perhatian, oleh lingkungan sekitarnya.

Baca Juga:102 Pelajar yang Konvoi Berkendara Diamankan, 2 Bom Molotov Disita

Manusia selalu mencari cara agar mendapatkan itu semua. Hadirnya anak-anak pelajar tersebut didalam demo merupakan kesempatan mereka untuk mengekspresikan diri agar dapat diakui atau diperhatikan terutama pada sesama temannya.

“Pada fase remaja itu dalam istilah psikologi adalah fase ” Angin ribut”. Dimana mereka ingin mengekspresikan diri seluas – luasnya karena merasa mampu, tapi disisi lain mereka tidak mampu dalam banyak hal. Dari segi fisik mereka belum tumbuh secara sempurna, segi konsep berfikir, serta dalam segi mentalnya masih dalam pembentukan,”ucapnya pada Mistar, melalui wawancara khusus secara live streaming, Jumat (16/10/20).

Sehingga, Dia menambahkan, saat si remaja mencari jati diri dan mulai merasa mandiri, serta dianggap mampu mengambil keputusan sendiri, sikap memberontak pun akan muncul. Ia mungkin akan mengambil keputusan yang belum dipikirkan matang, hanya karena menurutnya benar atau bisa dimaklumi. Seperti perilaku nekat ataupun sikap ekstrim.

Baca Juga:Ketahuan Busuknya! Ratusan Preman Ikut Demo Tolak Omnibus Law

“Di samping itu juga, momen demo ini menurut mereka yang tepat untuk melepaskan diri dari kebosanan di rumah aja. Karena dalam situasi pandemi ini, sekolah-sekolah ditutup, kemudian menjadi daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ),”katanya.

Para pelajar tersebut merupakan tanggungjawab semuanya, seperti orangtua, guru, tokoh masyarakat dan orang-orang dewasa yang peduli terhadap remaja. Agar nantinya dapat mengarahkan mereka ke jalan yang benar, dan mengajak mereka ke hal yang produktif seperti olahraga, keterampilan dan kegiatan-kegiatan sosial.

Terkait atas peran orangtua agar anaknya tidak melakukan hal-hal negatif seperti demo tersebut, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan. Ketiga ini sangat dibutuhkan anak remaja dalam masa pertumbuhan.

Pertama Penerimaan

Sebagai remaja yang sedang mencari jati diri, mereka sangat tidak suka jika dibandingkan dari segi fisik, akademis, kekuatan, dan kelemahan pada siapapun bahkan dengan suadara kandungnya. Orangtua harus menerima Dia apa adanya. Sebab, terkadang diluar Dia sering dicemoohkan atau diejek orang lain, tapi keluarga harus menerima baik atau buruk dia.

Kedua Kepercayaan

Anak remaja inipun sebenarnya ingin diberi tanggungjawab. Beri mereka tanggungjawab tertentu, mendukungnya, memberi petunjuk. Hindari terlalu sering mengkritisi.

Ketiga Perhatian

Banyak cara orangtua menunjukkan perhatiannya pada anak. Tidak selalu dilakukan dengan uang ataupun materi. Remaja selalu mengharapkan dan mendambakan keluarga yang harmonis, jika anak dalam keluarga yang harmonis maka dirinya akan merasa diterima dan diperhatikan oleh keluarganya.

“Supaya para pelajar yang remaja tersebut bisa tumbuh dengan pribadi yang memiliki identitas, jati diri sendiri, mereka bangga dengan diri sendiri, sehingga tidak perlu mencari lagi aktivitas yang ekstrim untuk menarik perhatian orang sebab mereka sudah puas sudah dihargai, diterima, dan dipercaya oleh orangtuanya atau keluarganya,” jelas pria yang juga sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Indonesia (STIKI) Malang ini.

Menurut Daniel, menghadapi masa peralihan menuju dewasa, remaja tentu membutuhkan dorongan dari orang tua. Terlebih saat mengalami kegagalan yang mampu menyurutkan kekuatan mereka. Apabila remaja gagal dalam mengembangkan rasa identitasnya, maka remaja akan kehilangan arah, bagaikan kapal yang kehilangan kompas.

Para orangtua juga harus bisa menanggalkan ego, untuk menganggap diri lebih hebat, lebih berpengalaman, maka harus turun menjadi teman bagi mereka agar menciptakan rasa nyaman.
Sehingga Ia tidak akan mencari kebebasan ataupun kegiatan di luar rumah lagi bersama teman-temannya, seperti ikutan demo atau hal-hal ekstrim lainnya.

“Nyaman itu nomor satu baru Cinta. Jadi, jika orang merasa tidak nyaman, maka Ia tidak bisa mengekspresikan cintacinta dan perhatian. Sehingga, para orangtua harus menciptakan kenyamanan dulu didalam diri anak tersebut,”tutup Daniel. (yetty/hm01).

Related Articles

Latest Articles