7.9 C
New York
Friday, April 19, 2024

Pelukan Sambo-Putri dan Stockholm Syndrome

Jakarta, MISTAR.ID

Kini marak beredar video adegan rekonstruksi pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (Brigadir J).

Namun yang kini ikut disorot sejumlah warganet adalah aksi ‘romantis’ Putri Candrawathi terhadap Ferdy Sambo. Hal itu marak menuai kritik keras warganet yang menilai, tak seharusnya tersangka pelaku pembunuhan.

Psikolog klinis dan founder dari pusat konsultasi Anastasia and Associate, Anastasia Sari Dewi, menyebut di budaya timur, adegan romantis baik dalam film maupun internet memang mudah menuai perhatian publik.

Baca Juga:Ini Foto Jenazah Yosua Sesaat Usai Ditembak di Rumah Sambo

Pasalnya berbeda dengan budaya barat, menunjukkan sikap romantis di ruang publik adalah hal lumrah sehingga tak lagi dianggap hal besar oleh masyarakat.

“Kalau di luar negeri mungkin terbiasa melihat di jalan raya orang pelukan, gandengan, rangkulan, ciuman, dan itu biasa saja. Tapi di sini itu sesuatu yang langka, jarang, dan akan menarik perhatian. Sesuatu yang langka atau jarang itu akan menarik perhatian,” terangnya, Kamis (1/9/2022).

“Ini kan memang perhatiannya tinggi sekali ke situ plus ada perilaku-perilaku yang memang jarang dilihat di publik. Pejabat dengan istrinya yang menunjukkan romantisme sampai seperti itu. Sehingga ini menjadi sesuatu yang langka dan semakin menarik perhatian. Jadi kombo menarik perhatiannya,” lanjut Sari.

Lebih lanjut, ia menyinggung ‘stockholm syndrome’ di balik fenomena maraknya romantisisasi warganet terhadap konten Sambo dan Putri Candrawathi.

Baca Juga:Komnas HAM Ungkap Putri Diperintah Sambo jadi Korban Pelecehan

Ia menjelaskan bahwa dalam sindrom tersebut, pihak yang menjadi korban justru simpatik kepada pihak pelaku kejahatan. Alih-alih marah kepada pelaku, pihak korban justru kasihan kepada pelaku.

“Kalau bicara tentang sensasi emosi seperti ini, mungkin familiar dengan ‘stockholm syndrome’ di mana ini merupakan sensasi emosi yang dirasakan oleh korban. Dia harusnya merasa marah, takut, benci, tapi ini kebalikannya. Dia justru merasakan simpatik dengan pelakunya,” jelasnya.

“Stockholm syndrome ini sebetulnya adalah salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri manusia secara psikologi karena lelah. Daripada melawan terus, marah, takut terus, atau benci terus, akhirnya dia berusaha menerima kondisi dia dengan cara bersimpati terhadap pelaku,” sambung Sari.

Baca Juga:Irjen Ferdy Sambo Resmi Dipecat Secara Tidak Hormat

Lebih lanjut, Sari berharap pihak keluarga korban dan masyarakat bisa objektif dalam memantau perkembangan kasus pembunuhan tersebut. Tak lain, agar tindak lanjut terhadap kasus tersebut bisa terus berjalan kondusif.

Penting juga untuk pengguna internet tidak saling melontarkan hinaan di kolom komentar konten-konten terkait Sambo. Sari khawatir, sikap tersebut justru memicu penggiringan opini dan simpang siur informasi.

“Kembali lagi, semoga keluarga korban dalam kasus ini tetap bisa objektif, didampingi orang-orang yang profesional sehingga tidak ada sindrom seperti ini khususnya dari keluarga korban. Dari netizen juga sama, tidak ada yang mengubah perasaan lelah dari kasus ini, marah dengan kasus ini, justru dengan perasaan iba. Ini justru nanti jadi tidak berjalan dengan kondusif,” bebernya.

Baca Juga:Tak Hadir Langsung di Sidang Etik Ferdy Sambo, Barada E Gunakan Justice Collaborator

“Ingat bahwa fenomena sindrom ini tetap ada jadi saat berkomen di media sosial secukup saja, sewajarnya saja. Apa yang dirasakan oleh hati pribadi tidak perlu dipaksakan harus orang lain merasakan. Apalagi ini kasus yang memang cukup sensitif,” pungkas Sari.(detik.com/hm01)

Related Articles

Latest Articles