7.4 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Orangtua ‘Mewariskan’ Perilaku Kekerasan

Medan, MISTAR.ID – Kekerasan terhadap anak sepertinya terus berkembang karena semakin banyak orangtua yang ‘mewariskan’ perilaku kekerasan dari generasi ke generasi berikutnya. Hal itu dikatakan Psikolog dan direktur Minauli Consulting, Irna Minauli.

“Orangtua yang dibesarkan dengan kekerasan cenderung akan mengulangi kekerasan yang dicontohkan orangtuanya pada anak-anaknya. Mereka beranggapan bahwa kekerasan sebagai cara efektif untuk mendisiplinkan anak,” katanya menanggapi pemberitaan Harian Mistar dengan judul 189 anak jadi korban di Sumut selama tahun 2019, Jumat (3/1/20).

Kata dia, selain itu, banyaknya masalah-masalah ekonomi dan sosial juga memperparah kondisi ini. “Banyak orangtua yang melampiaskan frustrasinya karena kesulitan ekonomi dengan menyalurkan kemarahannya kepada anak,” ucap dia.

“Demikian pula masalah yang mereka alami dalam hubungannnya dengan pasangan, seperti pertengkaran dengan pasangan atau perceraian maka pelampiasan kemarahan juga sering diarahkan pada anak,” ujarnya.

Kata dia, kurangnya nilai budaya seseorang membuat anak menjadi pelampiasan kemarahan. “Longgarnya sistem nilai khususnya yang menyangkut norma-norma budaya membuat banyak orang kehilangan empati sehingga mereka melihat anak sebagai objek pelampiasan kemarahan maupun seksualnya,” ucap Irna Minauli.

Khusus anak yang menjadi korban pencabulan, sambung dia, biasanya pelaku kerap menjadikan tontonan pornografi alasan utama. “Paparan pornografi membuat banyak orang kemudian menjadi predator bagi anak-anak yang belum memahami masalah seksual,” jelas dia.

Korban kekerasan umumnya mengalami post-traumatic stress disorder yang jika tidak ditangani dengan tuntas maka akan menimbulkan masalah hingga masa remaja dan dewasanya.

Anak yang mendapatkan kekerasan seksual atau apapun itu akan menjadi trauma hingga berkepanjangan. Beberapa ciri trauma yang dialami misalnya adanya mimpi buruk, lintasan ingatan (flashback) yang berulang tentang kejadian serta adanya kemunduran pada perilaku mereka (mengalami regresi).

“Selain itu, secara kognitif mereka juga mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi sehingga dapat berpengaruh buruk pada prestasi sekolahnya,” sebut dia.

Bila tidak dapat diatasi, para korban bakal bisa menjadi pelaku kekerasan berikutnya. “Ya kalau tidak ditangani maka hal ini akan terus bergulir, khususnya pada kasus kekerasan seksual pada anak. Tidak mustahil mereka juga akan menjadi predator-predator baru ketika mereka remaja dan dewasa nanti,” ucapnya.

Menurut dia, anak merupakan korban yang paling gampang untuk melampiaskan kemarahan atau nafsu dari para pelaku. “Ya karena mereka lebih mudah membujuk anak-anak tersebut. Itulah makanya kekerasan terhadap anak dianggap sebagai suatu tindakan keji karena orang yang seharusnya melindungi anak namun mereka malah menyakiti anak,” kata Irna.

Seperti diketahui, Berdasarkan catatan Yayasan Pusaka Indonesia (YPI), selama tahun 2019 sebanyak 189 anak di Sumatera Utara mengalami perlakuan kekerasan.

Ketua Badan Pengurus YPI Medan, OK Syahputra Harianda menyampaikan, kasus pencabulan menjadi paling banyak terjadi, dengan 107 anak menjadi korbannya. Kemudian diikuti kasus penganiayaan dengan jumlah korban sebanyak 43 anak.

“Tindakan pembunuhan dengan 21 anak lalu kasus seperti sodomi, incest, penelantaran dan pemerkosaan,” ungkapnya kepada wartawan, Kamis (2/1).

Reporter: Saut Hutasoit
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles