9.4 C
New York
Friday, March 29, 2024

Jangan Sering Terapkan Psikologi Terbalik pada Anak

MISTAR.ID-Strategi reverse psychology atau psikologi terbalik banyak digunakan dalam parenting. Secara definisi, reverse psychology adalah strategi yang digunakan untuk membuat seseorang melakukan apa yang kita mau dengan cara meminta mereka melakukan hal yang sebaliknya.

Tujuannya adalah membuat orang tersebut melakukan apa yang kita kehendaki. Biasanya, ketika menerapkan strategi ini, kita menggunakan kata-kata seperti “jangan” atau “tidak boleh”, tapi mengharapkan respons sebaliknya dari anak.

Namun, strategi ini ternyata tak boleh terlalu sering diterapkan. Apa alasannya, ya?

Psikolog Anak dan Keluarga dari Rumah Dandelion, Nadya Pramesrani menjelaskan, efektivitas psikologi terbalik ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk ketepatan waktu (timing), karakteristik orang yang menjadi sasaran, hingga kebutuhannya.

Baca Juga:Duck Syndrome, Gangguan Psikologis Banyak Dialami Orang Dewasa Muda

“Ini kan kaitannya strategi. Artinya, perlu tahu kepada siapa dan kapan menggunakannya dengan tepat,” ungkap Nadya, Senin (26/7/2021).

Mengenai karakteristik, ada sifat-sifat tertentu yang membuat strategi psikologi terbalik menjadi lebih efektif ketika diterapkan pada individu tersebut.

Ketika diterapkan pada orang-orang dengan emosi yang lebih intens dan memiliki energi tinggi lebih, misalnya, cenderung akan lebih efektif daripada jika diterapkan pada orang-orang dengan sifat sebaliknya.

Nadya mengingatkan, jika tidak diterapkan pada orang yang tepat, strategi ini malah bisa menjadi bumerang.

“Pada kelompok orang yang istilahnya adem ayem saja, mungkin ketika dikasih pendekatan seperti ini tidak memunculkan reactance-nya dia, malah menjadi terinternalisasi di dalam diri dia: “oh kata mama aku enggak bisa, ya sudah aku enggak bisa”.

Baca JUga:Psikologi Warna: Warna Favorit Anda Menjelaskan Kepribadian Anda

“Jadi intinya bukan tidak boleh atau jangan digunakan. Tapi jangan digunakan terus-menerus. Lihat dari segi kesesuaian dengan konteksnya, kebutuhan, dan karakteristik lawan bicara kita,” katanya.

Selain pentingnya penggunaan yang tepat, penerapan psikologi terbalik juga berpotensi menimbulkan konflik dalam hubungan. Pada anak, mereka mungkin merasa dirinya dimanipulasi jika orangtuanya tak bisa dipercaya jika strategi tersebut terlalu sering dilakukan.

Pada orang dewasa, menerapkan strategi ini memberikan efek yang cenderung lebih negatif. Sebab, kita terkesan manipulatif atau “mengakali” untuk membuat orang lain mau melakukan apa yang kita inginkan.

“Itu bukan dasar dari komunikasi yang terbuka,” kata Nadya.
Sering kali, strategi ini lebih banyak digunakan dalam bidang marketing untuk membuat orang lain membeli barang atau jasa yang ditawarkan.

“In terms of relationship, seperti dengan pasangan, teman atau rekan kerja, bisa menjadi backfire karena orang akan merasa kita memanipulasi dia sehingga hubungan akhirnya menjadi tidak enak,” tuturnya.

Namun, dalam konteks parenting atau pengasuhan anak, strategi ini sebetulnya sudah mulai ditinggalkan dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orangtua saat ini lebih memilih memberikan pilihan pada anak-anaknya alih-alih mengatakan pada anak kalimat seperti “kamu tidak bisa melakukan itu” atau “kamu tidak boleh melakukan itu”, lalu berharap mereka melakukan hal sebaliknya.

Baca Juga:5 Manfaat Psikologis Siswa yang Rutin Sarapan Pagi

Menurut Nadya, orangtua yang meninggalkan psikologi terbalik cenderung tidak mau menghilangkan rasa memiliki otonomi atau kebebasan terhadap diri sendiri, pada diri anak.

Dengan memberikan pilihan, anak akan merasa memiliki otonomi dan akan tercipta komunikasi yang terbuka.

“Jadi, orangtua sekarang lebih memberikan pilihan A,B,C, mana yang mau anak lakukan. Akhirnya tidak ada manipulasi di sana, ada komunikasi terbuka, agar anak punya otonomi pribadi juga difasilitasi,” ungkapnya.(kompas.com/hm01)

Related Articles

Latest Articles