6.6 C
New York
Friday, March 29, 2024

#Dirumahsaja : Semangat Di Awal, Lupa Dan Bosan Kemudian

MISTAR.ID
Hati-hati terhadap virus bosan dan virus lengah. Pada awalnya, kita mungkin bersemangat menjalani kehidupan di rumah saja, namun setelah dua bulan menjalani di rumah saja, di antara kita sudah mulai banyak yang merasa bosan dan ingin segera menikmati kegiatan kumpul bersama di luar rumah. Ada juga yang mulai menurunkan kesiagaannya. “Udah dua bulan di rumah aja, keluar nggak pa pa kaliii,” dan ternyata “nggak apa-apa“ alias belum tertular sakit.

Situasi pada saat ini, mengharuskan kita untuk mengambil kesadaran untuk di rumah aja, demi memutuskan penyebaran virus corona . Mungkin perlu diingatkan kembali , sebulan yang lalu (april 2020), penderita Covid-19 di Indonesia adalah sebanyak 2.738 orang, sekarang sudah menjadi 12.438 orang (update 6/5/20). Kasus di dunia pada bulan lalu 1,27 juta orang terkonfirmasi, sekarang menjadi 3,74 juta orang yang positif terinfeksi .

Tidak bisa dipungkiri, kebosanan akibat di rumah saja untuk waktu yang tidak dapat dipastikan, membuat beberapa dari kita mungkin menurunkan kewaspadaan kita, kita menjadi lengah dan memutuskan untuk berjalan jalan keluar.

Sebelum Anda memutuskan tidak mendengarkan himbauan untuk di rumah saja, Bagaimana jika Anda mulai memikirkan dulu , kapan waktu yang tepat untuk melonggarkan kewaspadaan Anda? Dengan gambaran bagaimana keputusan yang dibuat oleh orang-orang untuk keluar rumah, mungkin kami dapat membantu Anda membuat pilihan yang terbaik untuk Anda dan orang di sekeliling Anda.

Semenjak pandemi Covid-19 melanda dunia, dunia berita menjadi konsumsi sehari-hari setiap orang. Mungkin kita telah mempercayai teori informasi yang keliru atau konspirasi tentang topik tertentu. Meskipun demikian, kita harus bisa membuat keputusan yang bijak jika ingin melanggar himbauan untuk di rumah saja.

Satu hal yang dapat kita yakini dalam pandemi Covid-19 ini adalah “Kita semua membuat keputusan di bawah ketidakpastian“.

Ada banyak hal yang tidak kita ketahui, seperti :
Seberapa luas wabah penyakit ini?
Berapa banyak orang yang akan mati?
Akankah seseorang yang saya kenal mati?
Berapa banyak orang yang akan diselamatkan?
Apakah saya akan terkena jika saya keluar?
Apakah saya akan secara tidak sengaja mengekspos orang lain terhadap virus? Seberapa tinggi risiko saya jika saya menjaga jarak, jika saya memakai masker, jika orang lain memakai masker?
Sungguh, kita tidak tahu jawaban pasti untuk semua pertanyaan ini.

Di satu sisi yang mendapat efek paling parah adalah kondisi ekonomi.
Berapa banyak orang yang akan menjadi pengangguran atau berisiko kehilangan rumah mereka?
Seberapa parahnya kondisi ekonomi sekarang ini dan berapa lama mereka akan bertahan?
Apakah saya atau seseorang yang saya kenal kehilangan pekerjaan atau penghasilan mereka?
Kapan pemulihan akan dimulai?
Kita tidak tahu dan kita akan mempercayai prediksi apa pun akan kondisi ekonomi dalam 6 bulan mendatang.

Begitu banyak hal yang tidak kita ketahui dan tidak bisa tahu sekarang.

Hanya satu hal yang kita ketahui, yaitu sebenarnya orang-orang telah membuat keputusan di bawah ketidakpastian . Sebelum Anda memberanikan diri , mengambil keputusan untuk keluar rumah, bagaimana jika Anda pahami dulu keputusan yang akan Anda ambil.

Pola pikir penentu pengambilan keputusan

Memahami proses pengambilan keputusan dapat membantu Anda membuat keputusan yang lebih baik, meskipun mungkin tidak sempurna.

Dalam hal ini, poin terpenting adalah pola pikir Anda dalam mengambil langkah. Pola pikir yang berarti bagaimana kita memahami suatu situasi. Pola pikir menyangkut bagaimana hasil yang mungkin disajikan. Pola pikir bagaimanakah yang dimaksud dalam membantu Anda mengambil keputusan di tengah ketidakpastian situasi pandemi Covid-19?

“Keuntungan atau kerugian, sekarat atau hidup ?”

Sebagai awalnya , dalam mempertimbangkan suatu keputusan, Apakah Anda berfokus pada kerugian …atau keuntungan? Apakah anda berpikir tentang orang yang sekarat… atau menyelamatkan orang? Informasi yang sama, keputusan yang sama, namun dapat membuat hasil yang berbeda, bisa sebagai kerugian atau keuntungan.

Anda dapat membuat situasi yang berpotensi menyelamatkan nyawa 10.000 orang atau mengakibatkan sebanyak 10.000 orang sekarat. Ketika kita memutuskan tindakan sebagai menyelamatkan orang (atau uang), kita menjadi lebih berhati-hati. Tentunya kita lebih suka opsi yang pasti menyelamatkan orang. Kita tidak ingin mengambil risiko apa pun kan?

Sebaliknya, jika kita fokus pada kehilangan uang atau orang yang sekarat, maka kita lebih cenderung mempertimbangkan pilihan yang lebih berisiko. Kita menjadi lebih bersedia untuk bertaruh, bahkan mengambil taruhan yang probabilitasnya rendah, ketika pilihannya melibatkan orang-orang yang berisiko mati. Inti yang terpenting, keputusan yang sama dapat dibuat sebagai menyelamatkan orang atau membahayakan orang.

Aspek lain yang menarik tentang pola pikir sebagai keuntungan atau kerugian:

“Kerugian selalu lebih kuat”. Kehilangan Rp.100.000,- terasa buruk dan mendapatkan Rp.100.000,- rasanya senang. Tetapi kerugian Rp.100.000,- lebih menyakitkan daripada rasa senang mendapatkan Rp.100.000,- . Anda mengkhawatirkan sekitar 1.000 orang yang sekarat di komunitas Anda, membuat perasaan anda tidak bahagia. Namun, berpikir untuk menyelamatkan 1.000 nyawa, meski penting, tidak akan memiliki kekuatan yang sama.

Sekarang kita lihat dalam pengambilan keputusan tentang COVID-19, bagaimana keputusan Anda dibuat?
Jika Anda berfokus pada orang-orang yang berpotensi meninggal, maka Anda mungkin mau mencoba obat-obatan yang tidak diuji.
Jika sebaliknya, Anda fokus untuk menyelamatkan apa yang Anda miliki dan menyelamatkan nyawa, maka Anda mungkin lebih menolak mengambil resiko. Anda mungkin ingin menghindari obat dengan risiko tinggi efek samping.

“Sesuatu benar-benar berbeda jika dimulai dari ketiadaan”

Sebagai contoh, Daniel Kahneman dan Amos Tversky peraih Hadiah Nobel di bidang Ekonomi, mencatat bahwa rasa senang ketika mendapatkan (atau kehilangan) 100 ribu rupiah sangat kuat ketika Anda mulai dari nol, dari ketika Anda tidak memiliki apa-apa. Seratus ribu pertama benar-benar penting. Tetapi mendapatkan 100 ribu rupiah lagi ketika Anda sudah mendapatkan 110 ribu rupiah, tidak akan sama lagi. Ini akan memengaruhi keputusan Anda walau dengan kejadian yang sama. Dan apa yang Anda anggap sebagai garis dasar kamu, sebagai titik nol kamu, sangat penting di sini.

Pertimbangkan tanggapan Anda pada bulan April terhadap kemungkinan bahwa 700 orang mungkin meninggal di Indonesia karena Covid-19. Apa yang akan Anda lakukan untuk mencegah kematian itu? Apakah Anda bersedia tinggal di rumah selama sebulan untuk menyelamatkan 700 jiwa? Sekarang perhatikan bahwa 800 orang lebih telah meninggal hingga saat ini (saat saya menulis ini). Kita bisa saja kehilangan 1500 orang pada akhir bulan ini. Apakah Anda bersedia tinggal di rumah selama sebulan untuk menyelamatkan 700 nyawa sekarang? 700 hitungan pertama lebih sulit. Bahwa banyak orang akan menjadi tragis. Tetapi dampak dari set pertama lebih kuat daripada kenaikan dari 800 menjadi 1500. Tentu saja, Anda dapat memikirkan situasi ini secara berbeda. Abaikan nyawa yang sudah hilang. Saat ini hanya 700 orang sekarat bulan ini. Titik nol baru dapat membuat angka menjadi lebih kuat lagi.

“Fokuskan kepada orang banyak”

Anda fokus pada siapa? Apakah Anda memikirkan diri sendiri atau orang lain? Kita ambil contoh dari bagaimana kita meyakinkan orang untuk mencuci tangan untuk mencegah penyebaran penyakit?

Grant dan Hofmann (2011) menempatkan berbagai jenis pengingat kebersihan tangan di rumah sakit untuk melakukan percobaan lapangan pada efek pola pikir. Rambu-rambu ditempatkan di atas wastafel dan tempat pembersih tangan. Dalam satu kondisi, orang diingatkan bahwa “Kebersihan tangan mencegah Anda terkena penyakit.” Dan di sisi lain, tanda-tandanya menuliskan bahwa “Kebersihan tangan mencegah pasien terkena penyakit.” Perubahan sederhana berfokus dari diri sendiri ke orang lain .

Fokus pada membantu orang lain meningkatkan kepatuhan dengan kebersihan tangan, bahkan di rumah sakit. Mungkin ini sesuatu yang berhubungan dengan dokter dan perawat. Tapi saya rasa tidak. Sebagai gantinya, saya pikir kita semua bisa membuat keputusan yang lebih baik ketika peduli dengan membantu orang lain, ketika perilaku yang sama dijadikan sebagai pola pikir yang sama.

Kita telah melihat aksi protes anti-lockdown dan merasa takut. Banyak orang membawa tanda bertuliskan seperti , “Saya perlu potong rambut.” Orang-orang ini fokus pada diri mereka sendiri, fokus pada sesuatu yang telah hilang. Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana pandangan mereka akan berubah jika mereka lebih fokus untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Banyak orang yang membuat keputusan selama Covid-19, menghadapi keputusan yang lebih kompleks daripada tinggal di rumah atau pergi untuk potong rambut. Ada konflik tentang uang, tentang perlunya membayar tagihan, dan risiko kehilangan penghasilan. Kekhawatiran ini kadang-kadang disandingkan dengan risiko paparan dan penyebaran Covid-19. Kita khawatir tentang menyelamatkan nyawa dan situasi ekonomi kita sendiri. Ini bukan keputusan yang mudah. Berapa lama kita harus tinggal di rumah, kapan aman untuk keluar, haruskah kita memakai masker?

Dua orang dapat mempertimbangkan situasi yang sama persis dan mengetahui fakta yang sama persis. Tetapi mereka mungkin memiliki pola pikir dan hasil secara berbeda. Kita akan lebih cenderung memilih opsi berisiko jika fokus pada diri kita sendiri, pada kehilangan uang, dan pada orang yang sekarat. Kematian juga akan menjadi kurang penting ketika mereka menumpuk. Tetapi kita dapat menjadikan situasi yang sama dengan berfokus pada membantu orang lain dan menyelamatkan hidup.

Kami lebih menekankan keselamatan saat fokus menyelamatkan orang. Bagaimana dengan Anda ?

Sumber : Psychology Today
Pewarta : GH
Editor : Rika Yoesz

Related Articles

Latest Articles